Karimun, FAKTUAL.CO.ID – Pembangunan galangan kapal di pesisir Durai, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, kembali menuai sorotan tajam. Proyek yang digadang-gadang sebagai bagian dari pengembangan industri maritim ini justru diduga melanggar aturan. Aktivitas reklamasi di lokasi disebut belum mengantongi izin resmi, dan perusahaan terindikasi tidak membayar retribusi daerah. Dugaan ini menimbulkan kerugian berlapis, mulai dari rusaknya lingkungan pesisir, berkurangnya pendapatan daerah, hingga dampak langsung bagi masyarakat lokal.
Awal Usaha: Penimbunan Tanah Urug Picu Pencemaran Laut
Informasi yang dihimpun menyebutkan, sebelum memulai pembangunan galangan kapal, perusahaan lebih dulu melakukan usaha tanah urug untuk penimbunan lahan. Aktivitas tersebut memicu persoalan serius: setiap kali hujan turun, air bercampur tanah urug mengalir ke laut, sehingga perairan di sekitar pesisir Durai berubah keruh kekuningan.
Fenomena ini bukan sekadar masalah estetika, tetapi langsung berdampak pada ekosistem laut dan aktivitas nelayan. Kondisi laut yang keruh membuat ikan menjauh, terumbu karang rusak, dan nelayan setempat kehilangan sumber mata pencaharian.
“Kalau hujan, air laut jadi kuning. Ikan-ikan susah ditangkap. Nelayan di sini sangat terganggu, padahal kami hidup hanya bergantung pada laut,” keluh seorang warga pesisir.
Jalan Rusak, Warga Jadi Korban
Selain pencemaran laut, kerugian masyarakat juga terlihat dari kondisi infrastruktur darat. Truk-truk bermuatan material timbunan dan peralatan galangan melintas setiap hari, mengakibatkan jalan desa cepat hancur.
“Jalan kami sekarang rusak, berlubang di sana-sini. Truk-truk besar dari proyek galangan kapal ini setiap hari lewat, tapi tak ada perbaikan dari pihak perusahaan,” ungkap seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Kerusakan jalan bukan sekadar soal kenyamanan, tetapi juga menghambat mobilitas masyarakat dan meningkatkan risiko kecelakaan.
Izin yang Dimiliki Perusahaan
Berdasarkan penelusuran dokumen, perusahaan galangan kapal di Durai ini memang telah memiliki sejumlah izin dasar, antara lain:
- Akte perusahaan
- Nomor Induk Berusaha (NIB) melalui OSS
- Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
- Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) Darat
Namun, izin-izin tersebut belum cukup untuk menjalankan reklamasi dan pembangunan galangan kapal di wilayah pesisir.
Izin yang Belum Dimiliki / Belum Diurus
Fakta lapangan menunjukkan, perusahaan belum memiliki kelengkapan dokumen krusial yang diwajibkan oleh regulasi, di antaranya:
- PKKPR Laut
- Izin Reklamasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan
- Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
- PBG/IMB (Persetujuan Bangunan Gedung / Izin Mendirikan Bangunan)
- Izin Galian C (pemanfaatan material timbunan)
- IUI – Izin Usaha Industri
- Izin Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil
Tanpa dokumen-dokumen ini, aktivitas reklamasi dan pembangunan galangan kapal dapat dikategorikan sebagai ilegal serta berpotensi menimbulkan sanksi hukum.
Sorotan Projo Kepri: Aturan Dilanggar, Pendapatan Daerah Bocor
Proyek ini juga mendapat kritik keras dari Dado Herdiansyah, Sekretaris DPD Projo Kepri. Ia menegaskan bahwa reklamasi dan pembangunan industri maritim tidak bisa dilakukan sembarangan.
“Setiap kegiatan reklamasi dan pembangunan industri maritim harus mematuhi aturan dan membayar retribusi daerah. Jika diabaikan, bukan hanya masyarakat dan lingkungan pesisir yang dirugikan, tapi juga pendapatan daerah untuk pembangunan,” tegas Dado.
Menurutnya, praktik semacam ini menambah daftar panjang dugaan pelanggaran di pulau-pulau kecil yang selama ini dijadikan lokasi industri dan pertambangan tanpa kelengkapan dokumen perizinan. Celah lemahnya pengawasan akibat jarak pulau yang jauh dari pusat pemerintahan kerap dimanfaatkan pengusaha untuk menghindari kewajiban hukum.
Ancaman Ekologis dan Hukum
Aktivitas reklamasi tanpa izin berpotensi menimbulkan kerusakan ekosistem pesisir, menurunkan kualitas air, mengganggu biota laut, hingga membatasi akses masyarakat terhadap laut. Kerugian ekologis ini bersifat jangka panjang dan sulit dipulihkan.
Dasar hukum yang jelas sebenarnya sudah ada, antara lain:
- UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
- Peraturan Menteri KKP No. 25 Tahun 2019 tentang Reklamasi
- PP No. 96 Tahun 2021 yang turut mengatur penggunaan material timbunan untuk kegiatan reklamasi
- Permen KP No. 10 Tahun 2024 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya
Namun lemahnya implementasi di lapangan membuat aturan ini seolah tidak berarti.
Desakan Investigasi dan Penegakan Hukum
Aktivis lingkungan dan masyarakat setempat mendesak pemerintah daerah bersama aparat penegak hukum untuk turun tangan melakukan investigasi mendalam. Penegakan aturan dinilai penting agar praktik pembangunan tanpa izin tidak terus merugikan masyarakat dan negara.
Pemerintah daerah diminta segera menindaklanjuti laporan keluhan masyarakat, sebab persoalan ini bukan hanya menyangkut Pendapatan Asli Daerah (PAD), tetapi juga menyangkut keberlangsungan ekosistem pulau-pulau kecil di masa depan.
Selain itu, aparat penegak hukum didesak untuk segera memanggil pihak perusahaan dan mengusut tuntas dugaan pelanggaran izin reklamasi, pengabaian kewajiban retribusi daerah, pencemaran laut akibat tanah urug, serta kerusakan jalan yang ditimbulkan.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak perusahaan belum memberikan klarifikasi resmi atas berbagai tudingan tersebut.