LockingIn: Cara Gen Z Mengalahkan Prokrastinasi dan Fokus Ke Tujuan

LockingIn: Cara Gen Z Mengalahkan Prokrastinasi dan Fokus Ke Tujuan
Foto: AI

Pendahuluan: Fenomena “Locking In” di Era Gen Z

Generasi Z sering mendapat label sebagai generasi yang tumbuh bersama teknologi, media sosial, dan arus informasi tanpa henti. Mereka disebut sebagai generasi yang serba cepat, multitasking, dan sangat adaptif. Namun, di balik semua kelebihan itu, ada satu masalah besar yang terus menghantui: prokrastinasi alias kecenderungan menunda-nunda pekerjaan, serta distraksi digital yang membuat fokus semakin langka.

Di tengah gempuran notifikasi, FOMO (fear of missing out), dan budaya instan, muncul satu tren baru yang kini menjadi semacam gerakan motivasi: locking in.” Istilah ini populer di kalangan Gen Z di media sosial, terutama TikTok dan X (Twitter), sebagai bentuk komitmen total untuk fokus, menutup distraksi, dan benar-benar “mengunci diri” pada tujuan hidup.

“Locking in” bukan sekadar jargon, melainkan simbol dari perjuangan generasi muda untuk merebut kembali kendali atas perhatian mereka. Tren ini lahir sebagai jawaban atas kebiasaan scrolling tanpa akhir, kebisingan digital, dan rasa lelah mental karena terlalu banyak pilihan tapi sedikit pencapaian.

Artikel ini akan membahas fenomena tersebut secara mendalam: mengapa prokrastinasi menjadi momok terbesar Gen Z, bagaimana “locking in” bisa menjadi jalan keluar, serta langkah-langkah praktis untuk benar-benar fokus hingga impian bisa tercapai.

Prokrastinasi: Musuh Lama yang Jadi Epidemi Baru

1. Distraksi Digital: Dunia yang Tak Pernah Tidur

Prokrastinasi bukanlah hal baru, tapi di era digital, bentuknya makin ekstrem. Jika dulu seseorang menunda pekerjaan dengan alasan beres-beres kamar atau mengobrol, kini gangguan datang dari genggaman tangan kita sendiri: smartphone.

Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube Shorts dirancang dengan algoritma yang membuat kita betah berlama-lama. Cukup satu klik, dan kita bisa “tenggelam” berjam-jam tanpa sadar. Inilah alasan kenapa banyak anak muda merasa sulit memulai tugas kuliah, pekerjaan, atau bahkan sekadar membaca buku.

BACA JUGA :
Dari Impian ke Aksi: Strategi Hidup Gen Z agar Tak Hanya Menunggu Kesempatan

2. Budaya Instan dan Dopamin

Generasi Z juga tumbuh dalam budaya instan: pesan makanan hanya butuh 15 menit, jawaban bisa dicari di Google dalam hitungan detik, bahkan hiburan tersedia tanpa batas. Otak manusia, yang terbiasa dengan proses dan kesabaran, kini dilatih untuk selalu mencari kepuasan instan. Akibatnya, tugas-tugas yang menuntut konsistensi jangka panjang terasa membosankan dan berat.

3. Perang Melawan Diri Sendiri

Prokrastinasi sering disalahartikan sebagai “malas,” padahal sebenarnya lebih dalam dari itu. Banyak penelitian menunjukkan bahwa menunda pekerjaan adalah bentuk self-regulation failure gagal mengatur emosi, bukan sekadar gagal mengatur waktu. Rasa cemas, takut gagal, atau perfeksionisme justru mendorong seseorang untuk menunda.

Mengapa Fokus Itu Penting (Terutama di 2025)

Di era informasi, fokus adalah “mata uang baru.” Orang yang bisa mengendalikan fokusnya akan lebih unggul dibanding mereka yang terus terseret arus distraksi.

  1. Produktivitas = Kompetitif
    Dunia kerja sekarang menuntut kreativitas, kecepatan, dan inovasi. Fokus membuat seseorang mampu menghasilkan lebih banyak karya, ide, dan solusi nyata.
  2. Kesehatan Mental
    Distraksi terus-menerus menguras energi mental. Fokus memberi rasa tenang karena kita merasa memegang kendali atas hidup.
  3. Identitas & Tujuan
    Generasi muda sering merasa kehilangan arah karena terlalu banyak pilihan. Fokus membantu mereka menemukan identitas, prioritas, dan arah yang jelas.
  4. Kebiasaan Jangka Panjang
    Fokus yang konsisten melahirkan kebiasaan, dan kebiasaanlah yang menentukan masa depan. Seperti kata pepatah: “We become what we repeatedly do.”

Strategi “Locking In”: Panduan Praktis untuk Gen Z

Fenomena “locking in” bisa menjadi lebih dari sekadar tren jika benar-benar dipraktikkan. Berikut beberapa langkah nyata:

1. Ciptakan Ritual Awal Fokus

Sebelum masuk ke mode fokus, lakukan ritual kecil: menyalakan lilin, mendengarkan musik instrumental, atau menulis to-do list. Ritual ini memberi sinyal ke otak: “sekarang saatnya bekerja.”

BACA JUGA :
Bangkit di Tengah Keadaan: Bagaimana Pemuda Bisa Menemukan Harapan & Arah Baru

2. Kurangi Distraksi Digital

  • Aktifkan mode fokus atau do not disturb di ponsel.
  • Pindahkan aplikasi media sosial ke folder tersembunyi.
  • Gunakan aplikasi pendukung seperti Forest atau Freedom untuk membatasi waktu online.

3. Teknik Pomodoro

Bekerja dalam siklus 25 menit fokus + 5 menit istirahat. Teknik sederhana ini terbukti meningkatkan konsentrasi dan menjaga energi tetap stabil.

4. Buat Lingkungan yang Mendukung

  • Rapikan meja kerja.
  • Hindari bekerja di tempat tidur.
  • Cari suasana yang konsisten: kafe tenang, perpustakaan, atau kamar dengan pencahayaan baik.

5. Tetapkan “Kenapa” yang Kuat

Motivasi terbesar bukan datang dari luar, melainkan dari dalam. Tanyakan pada diri sendiri: “Mengapa aku harus mengerjakan ini? Apa hubungannya dengan mimpiku?” Jika jawabannya jelas, energi fokus akan lebih mudah muncul.

6. Terapkan Aturan 2 Menit

Jika ada pekerjaan kecil yang bisa diselesaikan dalam 2 menit, kerjakan langsung. Cara ini melatih otak untuk mengurangi kebiasaan menunda.

7. Bangun Komunitas Fokus

Gerakan “locking in” sering dilakukan bareng-bareng, misalnya lewat virtual study room atau komunitas online yang saling menyemangati. Lingkungan yang mendukung membuat komitmen lebih kuat.

Kisah Nyata: Anak Muda yang Berhasil “Locking In”

Kisah 1: Mahasiswa yang Mengalahkan Scroll Tanpa Akhir

Raka, 21 tahun, mahasiswa di Jakarta, dulu menghabiskan rata-rata 6 jam sehari di TikTok. Tugas kuliah sering terlambat, dan ia merasa stres. Suatu hari, ia ikut tren “locking in” bersama teman-temannya: mereka sepakat menutup media sosial dari jam 8 pagi sampai 6 sore. Hasilnya? Raka menyelesaikan skripsinya lebih cepat dari jadwal, bahkan mendapat nilai A.

Kisah 2: Kreator Konten yang Fokus pada Karya

Nadia, 19 tahun, awalnya hanya ikut-ikutan membuat konten dance di TikTok. Setelah menerapkan prinsip “locking in,” ia membatasi waktu scroll dan menggantinya dengan belajar editing. Kini, ia menjadi kreator dengan ratusan ribu pengikut, bukan karena ikut tren, tapi karena konten originalnya.

BACA JUGA :
Lebih Dari Likes: Membangun Kepercayaan Diri yang Tahan Banting di Era Media Sosial

Kisah 3: Freelancer yang Mengatur Hidup

Andi, 24 tahun, bekerja sebagai freelancer desain grafis. Ia sering tergoda bermain game online hingga deadline menumpuk. Setelah belajar “locking in,” ia membuat aturan kerja 4 jam fokus tanpa distraksi setiap pagi. Pendapatannya meningkat karena klien puas dengan hasil kerjanya.

Locking In Bukan Tren Sesaat

Banyak tren motivasi muncul dan tenggelam, tapi “locking in” punya potensi bertahan lebih lama karena menyentuh inti masalah: kendali atas perhatian. Di dunia yang semakin bising, orang yang bisa menjaga fokus akan selalu unggul.

Generasi Z, yang sering dianggap mudah terdistraksi, justru punya kesempatan emas untuk membalik stigma itu. Dengan “locking in,” mereka bisa membuktikan bahwa teknologi bukan musuh, melainkan alat untuk mencapai tujuan.

Kesimpulan: Saatnya Mengunci Diri pada Tujuan

“Locking in” bukan berarti mengisolasi diri sepenuhnya dari dunia luar, melainkan memilih dengan sadar apa yang penting dan menyingkirkan yang tidak. Ini soal keberanian menolak distraksi, komitmen melawan prokrastinasi, dan keyakinan bahwa fokus adalah kunci kesuksesan.

Generasi muda hari ini punya semua sumber daya yang diperlukan: teknologi, pengetahuan, dan akses ke dunia global. Yang dibutuhkan hanyalah satu hal: kemampuan untuk mengunci diri pada tujuan.

Jika generasi sebelumnya bertahan hidup dengan disiplin keras, generasi sekarang bisa bertahan dan berkembang dengan fokus yang konsisten.

Saatnya berkata pada diri sendiri: “Aku sedang locking in. Aku tidak akan berhenti sampai tujuanku tercapai.”