Pendahuluan
Di tengah ramainya pemberitaan seputar program MBG (Makan Bergizi Gratis), isu soal gaji SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) sering muncul — terutama terkait kisaran nominal gaji yang “terdengar besar” seperti Rp 6,4 juta. Di sisi lain, ada klaim pemerintah bahwa sebagian petugas hanya menerima Rp 2 juta. Mana yang mendekati kenyataan? Dalam artikel ini, kita akan membedah secara kritis antara fakta dan isu terkait gaji SPPG MBG di lapangan, merujuk pada pernyataan resmi dan laporan media.
Latar Belakang: Peran SPPG dan Mekanisme MBG
Sebelum masuk ke angka-angka, penting menyegarkan pemahaman:
- Program MBG diluncurkan sebagai upaya intervensi gizi, khususnya bagi siswa sekolah dasar, lewat penyediaan makanan bergizi secara gratis.
- Untuk menjalankan program ini, pemerintah membentuk unit operasional SPPG yang bertugas merencanakan, produksi, distribusi, dan pengawasan makanan bergizi.
- Petugas SPPG terdiri dari berbagai jenis peran: kepala SPPG, ahli gizi, staf administratif, staf lapangan, sampai pekerja dapur.
- Sebagian besar petugas direkrut dari lulusan SPPI (Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia) yang kemudian ditempatkan di unit-unit MBG.
- Karena program ini relatif baru dan berskala nasional, banyak proses administratif, regulasi dan mekanisme pembayaran yang masih dalam tahap penyesuaian.
Dengan kompleksitas tersebut, sangat wajar muncul pertanyaan: “Berapa gaji sesungguhnya?”
Klaim di Publik: Dari Rp 2 Juta hingga Rp 6,4 Juta
Di media dan jejaring sosial, beredar berbagai klaim:
- Ada pihak yang menyebut gaji SPPG hanya Rp 2 juta per bulan untuk petugas biasa.
- Ada pula klaim bahwa kepala SPPG atau staf tertentu memperoleh total Rp 19,3 juta dalam 3 bulan (≈ Rp 6,43 juta per bulan rata-rata).
- Di sisi lain, muncul headline “Gaji SPPG Rp 6,4 Juta” yang tampak provokatif dan berpotensi menjadi clickbait.
Namun, klaim-klaim ini harus diuji dengan data konkret dan pernyataan resmi agar tidak menyesatkan.
Fakta & Pernyataan Resmi
Berikut ringkasan fakta dan pernyataan dari pemerintah serta media kredibel:
Angka Riil dari BGN dan Media
- Kepala BGN: gaji seluruh petugas sudah dibayar
Kepala BGN, Dadan Hindayana, menegaskan bahwa semua petugas SPPG — termasuk kepala, ahli gizi, dan akuntan — sudah menerima gaji. Ia menyebut bahwa mulai saat ini pembayaran dilakukan secara rutin tiap bulan, dengan sistem akun virtual dan pelaporan digital.
Pernyataan ini penting karena menepis klaim adanya petugas yang belum menerima gaji. - Kisaran gaji Rp 2 juta untuk petugas “umum”
Dalam beberapa laporan, pemerintah menyebut bahwa petugas SPPG yang berasal dari ibu rumah tangga atau petugas “hanya” bisa memperoleh penghasilan sekitar Rp 2 juta per bulan.
Angka ini sering digunakan sebagai ukuran “standar minimal” untuk petugas non-kepala atau staf dapur. - Penundaan dan akumulasi gaji 3 bulan
Ada laporan bahwa sebagian petugas belum menerima gaji selama 3 bulan, dan akhirnya pembayaran dilakukan secara kumulatif.
Contohnya: jumlah petugas yang terlambat gaji 3 bulan mencapai 2.948 orang (SPPG, ahli gizi, akuntan) menurut laporan media Bloomberg.
Dalam kasus ini, salah satu laporan mencantumkan total gaji kumulatif untuk beberapa petugas hingga Rp 19,3 juta untuk periode 3 bulan.
Tapi perlu klarifikasi: angka ini bukan gaji pokok tetap, melainkan akumulasi. - Keterlambatan karena status kepegawaian belum final
Salah satu penyebab utama keterlambatan pembayaran adalah status kepegawaian petugas, yang belum sepenuhnya memasuki skema PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja).
Karena status belum “resmi”, penggunaan anggaran formal dari APBN untuk penggajian tidak dapat dilakukan langsung. Sebagai solusi sementara, digunakan skema “jasa lain / kontrak / jasa konsultan / SBML (Standar Biaya Masukan Lainnya)” agar pembayaran bisa berjalan. - Pekerja dapur sebagai relawan & skema pembayaran harian
Di beberapa unit dapur MBG, ada klarifikasi bahwa pekerja dianggap sebagai relawan, bukan pegawai formal, sehingga skema pembayaran dan kewajiban (BPJS, tunjangan, upah tetap) berbeda.
Di unit tersebut, petugas dapur dibayar berdasar perhitungan harian, dan tidak selalu digaji bulanan tetap.
Antara Isu dan Realitas: Analisis Perbandingan
Berikut perbandingan antara klaim publik dan kondisi nyata berdasarkan data:Klaim / Isu Realitas / Penjelasan “Gaji SPPG Rp 6,4 juta” Mungkin muncul dari pembagian akumulasi, bukan gaji tetap. “Petugas hanya dapat Rp 2 juta” Ini lebih sering dijadikan angka dasar untuk petugas non-kepala, dan memang muncul dalam beberapa pernyataan resmi. “Kepala SPPG mendapatkan gaji besar” Kepala SPPG kemungkinan memperoleh penghasilan lebih tinggi karena jabatan, tanggung jawab, dan tunjangan — tetapi detail angka tetap bergantung regulasi. “Petugas belum dibayar” Pernyataan resmi sudah menegaskan bahwa semua petugas telah menerima gaji; keterlambatan terjadi hanya pada masa awal. “Pekerja dapur dibayar minimal / relawan” Di beberapa lokasi, pekerja dapur memang ditempatkan sebagai relawan dengan sistem pembayaran harian, bukan kontrak formal.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Besaran Gaji
Untuk memahami mengapa kisaran gaji bisa sangat beragam, berikut faktor-faktor penyebabnya:
- Status kepegawaian (formal vs relawan vs kontrak)
Jika petugas sudah masuk dalam skema PPPK atau ASN, mereka akan mengikuti regulasi gaji pokok dan tunjangan yang berlaku. Jika masih sebagai relawan atau kontrak, skema kompensasi bisa sangat terbatas. - Jabatan dan kompleksitas tugas
Kepala SPPG atau ahli gizi memiliki tanggung jawab lebih besar dibandingkan staf dapur atau staf administrasi biasa. Logikanya mereka harus menerima kompensasi lebih tinggi. - Tunjangan, lokasi, dan beban kerja tambahan
Tunjangan daerah, tunjangan kinerja, biaya hidup daerah, transportasi, dan beban kerja ekstra bisa menambah penghasilan secara signifikan (atau sebaliknya jika wilayah terpencil atau sumber daya minim). - Skema pembayaran: bulanan / harian / akumulatif
Jika pembayaran harus dilakukan harian atau dua mingguan, jumlah akhir bisa lebih rendah dibandingkan sistem gaji bulanan tetap. Jika pembayaran ditunda dan digabungkan 3 bulan, angka akumulasinya bisa lebih besar. - Kebijakan regulasi & anggaran pusat-daerah
Peraturan pusat dan daerah (APBN / APBD) serta peraturan teknis sangat menentukan apakah anggaran bisa segera digunakan atau harus melalui proses panjang. Disparitas antara daerah bisa muncul jika regulasi tidak seragam.
Implikasi dari Perbedaan Ekspektasi vs Realitas
- Kekecewaan dan beban psikologis petugas
Jika seseorang mengira mereka bisa memperoleh gaji “puluhan juta” tetapi kenyataannya jauh dari itu, akan muncul kekecewaan atau turunnya motivasi kerja. - Ketidakpastian finansial
Keterlambatan pembayaran atau pembayaran akumulatif bisa membuat petugas sulit merencanakan keuangan keluarga. - Komitmen jangka panjang & retensi tenaga
Bila orang merasa bahwa pekerjaan ini tidak menjamin kestabilan, mereka mungkin tidak mau bertahan lama atau bekerja ekstra dengan baik. - Kepercayaan publik & citra program
Jika publik mengetahui ada ketidaksesuaian antara klaim “gaji tinggi” dan kenyataan “gaji rendah / tertunda”, kredibilitas program MBG bisa diragukan. - Tekanan untuk regulasi & transparansi
Agar program berhasil dan adil, pemerintah (pusat & daerah) harus mengatur regulasi gaji, skema pembayaran, transparansi alokasi dana, dan mekanisme audit.
Rekomendasi Agar Harapan & Kenyataan Lebih Selaras
Agar klaim dan ekspektasi publik tidak terlalu jauh dari kenyataan lapangan, berikut rekomendasi:
- Publikasikan regulasi gaji resmi
Pemerintah pusat (BGN, Kemenkeu) perlu menerbitkan regulasi tersendiri yang menjelaskan gaji pokok + tunjangan + skema pembayaran SPPG/MBG. - Transparansi anggaran & sistem pembayaran
Sistem digital (akun virtual, laporan real-time) harus digunakan supaya petugas tahu alur dana dan jadwal pencairan. Pernyataan Kepala BGN bahwa dana kini masuk lewat akun virtual adalah langkah positif. - Standarisasi status kepegawaian
Semakin banyak petugas yang berstatus PPPK atau pegawai formal, semakin kecil perbedaan perlakuan antar unit. - Evaluasi tunjangan dan beban kerja
Penilaian beban kerja dan wilayah penempatan harus masuk dalam kalkulasi tunjangan sehingga kompensasi menjadi adil. - Sosialisasi yang jelas
Media dan publik harus diberi penjelasan bahwa angka-angka besar (misalnya akumulasi) berbeda dengan gaji pokok tetap.
Kesimpulan
- Klaim “Gaji SPPG MBG Rp 6,4 juta” tidak mutlak benar jika digunakan sebagai gaji pokok tetap di semua kasus.
- Di sisi lain, angka Rp 2 juta yang disebut dalam berbagai pernyataan lebih dekat sebagai referensi gaji petugas non-kepala atau staf dapur.
- Realitas di lapangan menunjukkan variasi besar tergantung status kepegawaian, jabatan, tunjangan, dan skema pembayaran.
- Pemerintah pusat telah menyatakan bahwa semua petugas kini sudah menerima gaji rutin, dan sistem pengelolaan pembayaran mulai diberlakukan lebih ketat dan transparan.