Benarkah Gaji SPPG Rp 6,4 Juta? Pernyataan Resmi dari Pemerintah

Benarkah Gaji SPPG Rp 6,4 Juta? Pernyataan Resmi dari Pemerintah
Foto: AI

Pendahuluan

Isu mengenai gaji SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) sedang ramai diperbincangkan publik — terutama setelah banyak kabar bahwa gaji para petugas belum dibayarkan selama beberapa bulan. Di tengah kondisi tersebut, muncul klaim bahwa gaji SPPG bisa mencapai Rp 6,4 juta. Apakah benar angka itu? Bagaimana posisi pemerintah pusat menyikapi isu ini? Dalam artikel ini, kita akan membedah fakta, tanggapan resmi, serta tantangan pelaksanaan gaji SPPG di Indonesia.

Apa Itu SPPG dan Program MBG

Sebelum ke soal gaji, penting memahami konteks:

  • SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) adalah unit operasional yang dibentuk dalam kerangka program MBG (Makan Bergizi Gratis) yang digagas pemerintah untuk mendukung pemenuhan gizi anak sekolah.
  • Petugas di SPPG bisa terdiri dari Kepala SPPG, ahli gizi, staf akuntansi, staf lapangan, hingga relawan dapur.
  • Untuk mengisi posisi-posisi tersebut, pemerintah merekrut lulusan SPPI (Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia) yang telah melalui pelatihan (termasuk aspek militer dasar atau diksarmil) untuk ditempatkan di daerah-daerah pelayanan.
  • Tujuan program ini antara lain untuk meningkatkan akses gizi bagi siswa, memperkuat ketahanan pangan lokal, serta menyerap tenaga kerja terutama di kawasan 3T (Terdepan, Terpencil, Tertinggal).

Dengan latar itulah, publik kemudian mempertanyakan “berapa sebetulnya gaji SPPG?” — terutama ketika muncul klaim nominal tinggi.

Klaim Gaji Rp 6,4 Juta: Dari Mana Angka Itu?

Angka Rp 6,4 juta sering dituliskan atau menjadi “headline clickbait” di media sosial atau situs-situs berita ringan. Namun, ketika ditelusuri:

  1. Belum ada pernyataan resmi pemerintah yang menyebut gaji SPPG sebesar Rp 6,4 juta sebagai gaji tetap bagi seluruh petugas.
  2. Sebagian klaim berasal dari prediksi atau ekspektasi publik berdasarkan kombinasi gaji pokok + tunjangan, atau interpretasi angka gaji PPPK/ASN di instansi lain.
  3. Beberapa media yang menuliskan klaim besar tersebut tidak menyebutkan sumber resmi (misalnya dokumen anggaran atau regulasi pemerintah).

Karena itu, klaim tersebut perlu diverifikasi sebelum dianggap sebagai fakta.

Pernyataan Resmi Pemerintah Pusat terkait Gaji SPPG

Mari kita telaah bukti-bukti resmi dan pernyataan pemerintah guna mengungkap kenyataan soal gaji SPPG:

Keterlambatan Pembayaran dan Alasan Administratif

  • Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, menyatakan bahwa keterlambatan pembayaran gaji SPPG dan ahli gizi terjadi karena status kepegawaian mereka belum resmi sebagai PPPK di awal pelaksanaan program. Akibatnya, meskipun anggaran sudah dialokasikan di APBN, penggunaan langsung tidak bisa dilakukan sesuai alokasi PPPK.
  • Karena itu, pemerintah harus mencari mekanisme lain agar pembayaran bisa dilakukan, misalnya melalui kontrak jasa atau penggunaan pos “jasa lainnya”.
  • Untuk kasus Kepala SPPG dan ahli gizi, gaji tertunda selama tiga bulan akhirnya dijanjikan akan dicairkan sebelum Lebaran.
  • Setelah proses administrasi selesai, BGN menyatakan bahwa seluruh petugas SPPG sudah menerima gaji dan kini pembayaran gaji dilakukan rutin tiap bulan.

“Kepala SPPG sekarang sudah rutin setiap bulan (menerima gaji) … memang butuh waktu sampai proses administrasinya dilakukan. Jadi sudah tidak ada lagi yang tidak dibayar.” — pernyataan Kepala BGN Dadan Hindayana

Angka Gaji yang Pernah Diungkap

Beberapa pernyataan pemerintah atau pejabat terkait menyebut angka konkret:

  • Dadan menyebut bahwa ibu rumah tangga yang bekerja di SPPG bisa memperoleh penghasilan Rp 2 juta per bulan. Meski angka ini lebih rendah dibanding klaim “6,4 juta”, ini adalah salah satu angka konkret dari pihak BGN.
  • Dalam liputan media, disebutkan bahwa total gaji selama 3 bulan untuk beberapa staf SPPG (termasuk Kepala dan ahli gizi) mencapai Rp 19,3 juta. Jika dibagi rata per bulan, ini sekitar Rp 6,43 juta per bulan rata-rata. Namun, angka ini tampaknya merupakan total kumulatif dan bukan gaji pokok tetap bulanan.
  • Dalam laman “Jadiasn”, disebut bahwa bagi lulusan D4/S1 yang diangkat sebagai Kepala SPPG, gaji pokok mereka dalam Golongan III berkisar dari Rp 2.785.700 hingga Rp 5.180.700 (belum termasuk tunjangan).
  • Sebuah portal menyebut, dalam prakiraan gaji SPPG berdasarkan status kontrak atau honorer, kisaran gaji staf administrasi bisa berada di Rp 2.000.000 – Rp 3.500.000, tenaga lapangan/penyuluh gizi di Rp 2.500.000 – Rp 4.500.000.

Dari pernyataan tersebut, terlihat bahwa angka Rp 6,4 juta per bulan bisa muncul jika seseorang mengkombinasikan total kompensasi (gaji pokok + tunjangan + pembayaran kumulatif) – tapi bukan sebagai angka resmi tetap yang diumumkan.

Analisis: Apakah Angka Rp 6,4 Juta Masuk Akal?

Agar kita bisa menilai apakah klaim “Rp 6,4 juta” realistis, berikut beberapa faktor yang perlu diperhatikan:

1. Komponen Gaji dan Tunjangan

Gaji pokok dalam ASN/PPPK biasanya diatur dalam skala gaji pokok sesuai golongan dan masa kerja. Tunjangan (kinerja, jabatan, daerah, transportasi, akomodasi) bisa menambah penghasilan signifikan — tapi kedudukan tiap petugas, beban kerja, lokasi penempatan, dan jenis tugas menentukan besarannya.

Jika seseorang berada di golongan tinggi + memiliki banyak tunjangan + tugas tambahan + berada di daerah mahal, maka total penghasilan bisa mencapai angka yang lebih tinggi. Namun, untuk semua petugas, angka tinggi seperti 6,4 juta tetap sulit dijadikan standar tanpa regulasi jelas.

2. Status Kepegawaian Tidak Seragam

Sepanjang program masih dalam masa transisi, tidak semua petugas langsung berstatus PNS atau PPPK. Ada yang diangkat melalui kontrak, jasa lain, atau penugasan sementara. Status ini sangat mempengaruhi besaran kompensasi, jaminan kerja, dan mekanisme pembayaran.

Selama periode administrasi belum selesai, angka tetap seperti Rp 6,4 juta belum dapat diberlakukan universal untuk semua petugas.

3. Beban Kerja dan Tanggung Jawab

Kepala SPPG mungkin memiliki tanggung jawab manajerial, pengawasan, alokasi anggaran, koordinasi antar instansi, dan pengambilan keputusan strategis — beban yang di atas rata-rata petugas dapur. Alokasi anggaran dan skema kompensasi seharusnya memperhitungkan beban ini. Namun, beban kerja itu tidak secara langsung menjamin gaji tinggi jika regulasi pendukung belum disusun dengan baik.

4. Keterbatasan Anggaran dan Kesetaraan

Negara harus mempertimbangkan skala nasional — jika semua petugas SPPG dibayar tinggi, anggaran akan sangat besar. Pemerintah perlu menjaga agar remunerasi ini bisa ditekan dalam batas wajar dan adil, tidak terlalu membebani APBN. Juga, harus mempertimbangkan kesetaraan dengan profesi lain di sektor kesehatan, pendidikan, dan pelayanan publik.

Karena itu, angka tinggi seperti 6,4 juta mungkin lebih cocok sebagai “insentif maksimum” atau “angka bonus/akumulatif” daripada gaji pokok tetap.

Dampak Keterlambatan Pembayaran bagi Petugas

Permasalahan gaji tertunda telah memicu efek nyata di lapangan:

  • Banyak petugas SPPG merasa tertekan secara ekonomi — ada laporan bahwa beberapa staf SPPG menjual motor mereka demi memenuhi kebutuhan sehari-hari saat gaji belum cair.
  • Ketidakpastian gaji dapat mempengaruhi motivasi kerja, komitmen jangka panjang, dan profesionalisme petugas, yang ujungnya berdampak pada kualitas layanan MBG.
  • Kepercayaan publik terhadap pelaksanaan program bisa terganggu jika keluhan keterlambatan disinyalir sebagai indikator buruknya manajemen anggaran.

Pemerintah pun mendapat tekanan publik agar segera menyelesaikan tunggakan gaji dan menjaga kelancaran pembayaran ke depan.

Posisi Pemerintah Pusat: Strategi dan Tantangan

Pemerintah pusat, melalui BGN, telah menyatakan beberapa langkah dan tantangan yang harus dihadapi:

  1. Penyelesaian administrasi agar SPPG termasuk dalam skema kepegawaian PPPK dengan jelas.
  2. Penyesuaian mekanisme pembayaran sementara (misalnya menggunakan kontrak/jasa lain) hingga status PPPK dapat berlaku semua petugas.
  3. Digitalisasi sistem pembayaran dan pelaporan agar aliran dana lebih transparan dan tepat waktu.
  4. Klarifikasi anggaran dan penggunaan akun virtual agar setiap SPPG memperoleh alokasi dana tepat 10 hari ke depan dari BGN.
  5. Peningkatan jumlah unit SPPG, hingga target 30 ribu, agar cakupan program MBG makin luas.

Namun, tantangan tetap:

  • Menyelaraskan regulasi pusat dan daerah agar pembayaran tak terganggu.
  • Memastikan evaluasi kinerja agar tunjangan tidak disalahgunakan.
  • Menjaga kesinambungan anggaran di tengah fluktuasi fiskal nasional.

Menurut BGN, sejak sekarang seluruh petugas SPPG sudah menerima gaji rutin dan tidak ada lagi petugas yang belum digaji.

Kesimpulan

Mengenai pertanyaan “Benarkah gaji SPPG Rp 6,4 juta?” — jawaban yang paling akurat saat ini adalah: tidak sepenuhnya benar jika diartikan sebagai gaji pokok tetap untuk semua petugas.

  • Nominal itu bisa muncul jika seseorang menghitung total kompensasi (gaji pokok + tunjangan + akumulasi), tetapi belum ada regulasi resmi yang menyatakan besaran fixed sebesar itu untuk semua petugas.
  • Pernyataan resmi pemerintah menyebut beberapa angka spesifik (seperti Rp 2 juta untuk ibu rumah tangga SPPG) serta kisaran gaji pokok dalam golongan ASN (sekitar Rp 2,7 juta–5,1 juta) bagi posisi Kepala SPPG.
  • Pemerintah tengah menyelesaikan fase administratif agar seluruh petugas dapat dibayar tepat waktu dan dalam skema kepegawaian yang jelas.
BACA JUGA :
Keracunan MBG Meluas: Ratusan Siswa Terinfeksi Program Makan Bergizi Gratis di Bandung Barat