Pendahuluan
Dalam pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG), salah satu isu yang mencuri perhatian publik adalah keterlambatan pembayaran gaji kepada staf SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi). Meski alokasi anggaran telah tersedia, banyak staf melaporkan belum mendapatkan honor selama beberapa bulan.
Kenapa ini terjadi? Apa solusi yang dijanjikan pemerintah? Sejauh mana masalah ini memengaruhi operasional dan kepercayaan publik? Artikel ini mencoba mengungkap akar permasalahan, dinamika di lapangan, dan implikasi dari gaji yang tertunda.
Apa Itu SPPG & Peranannya dalam Program MBG
Sebelum menyelami permasalahan gaji, penting meninjau kembali siapa staf SPPG itu dan apa perannya dalam program MBG.
- SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) adalah unit operasional yang bertugas menyusun menu bergizi, mengolah bahan pangan, mengawasi kualitas, serta mendistribusikan makanan ke sekolah-siswa penerima.
- Staf SPPG terdiri dari berbagai peran: kepala SPPG, ahli gizi, petugas dapur, akuntan pendamping, dan pendukung administratif lainnya.
- Umumnya, staf tersebut berasal dari rekrutmen lokal atau program seperti SPPI (Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia) yang ditempatkan untuk menjalankan fungsi operasional di SPPG.
- Peran mereka sangat penting karena mereka adalah “garda depan” agar kebijakan MBG bisa sampai ke tangan siswa dengan mutu yang diharapkan.
Tanpa kinerja staf SPPG yang baik dan motivasi yang tinggi, program MBG bisa lumpuh atau kualitasnya menurun — sehingga penyediaan makanan bergizi bisa gagal menjangkau tujuan utama program.
Kronologi & Laporan Keterlambatan Gaji
Keluhan publik & viralnya isu
Banyak staf SPPG mulai mengeluhkan bahwa gaji mereka belum dibayarkan selama tiga bulan. Keluhan ini viral di media sosial dan kemudian diangkat berbagai media lokal maupun nasional.
Misalnya, beberapa staf menyebut bahwa meskipun mereka telah bekerja sejak Januari – Februari 2025 menjalankan tugas operasional di dapur, pengolahan, dan logistik, honor mereka belum diterima.
Situasi ini memicu kegelisahan, terutama di kalangan staf yang mengandalkan gaji untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan latar belakang ini, publik menuntut transparansi dan kejelasan dari institusi terkait.
Respons pemerintah & BGN
Menanggapi isu ini, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) — Dadan Hindayana — memberikan serangkaian penjelasan dan janji penyelesaian. Beberapa poin penting dari respons tersebut:
- Alokasi anggaran sudah ada, tetapi pencairan terhambat
Dadan menyebut bahwa anggaran untuk membayar staf SPPG sudah dialokasikan dalam APBN 2025, namun pembayaran belum bisa dilakukan karena status kepegawaian staf belum resmi sebagai PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja).
Karena mekanisme penggunaan anggaran negara memiliki aturan keras, pemerintah tak bisa langsung mengalihkan dana tersebut untuk pembayaran staf bukan PPPK. - Cari mekanisme alternatif “jasa lainnya”
Untuk mengatasi hambatan administratif, BGN berencana menggunakan skema anggaran “jasa lainnya” atau menggolongkan staf sebagai konsultan eksternal agar dana bisa dicairkan.
Dengan mekanisme ini, staf akan dianggap sebagai penerima jasa, bukan pegawai formal, setidaknya dalam sistem keuangan negara, sehingga pencairan bisa dilakukan dengan jalur lebih fleksibel. - Metode pembayaran kolektif & supplier 6
Agar efisien, gaji staf akan dibayarkan melalui satu daftar kolektif menggunakan sistem supplier 6 — yaitu seluruh penerima digabung dalam satu daftar pembayaran melalui Surat Perintah Membayar (SPM), dan KPPN langsung transfer ke rekening tiap staf.
Jika SPM bisa diproses pada hari Senin, maka dana akan masuk ke rekening staf dalam dua hari kerja (misalnya Rabu). - Janji pembayaran segera & permintaan maaf
BGN menyatakan bahwa gaji staf sudah mulai diproses dan sebagian pembayaran telah dilakukan.
Dadan juga meminta maaf atas keterlambatan dan menjanjikan bahwa gaji akan dibayar sebelum Hari Raya Idulfitri (Lebaran) 1446 H.
Ia bahkan sempat menyebut bahwa dirinya mempertimbangkan untuk “menalangi” gaji agar staf tak terus menunggu.
Dengan respons tersebut, pemerintah tampak berupaya meredam keresahan dan menunjukkan komitmen mempercepat penyelesaian.
Analisis Akar Permasalahan
Mengapa keterlambatan gaji ini bisa terjadi, meskipun anggaran sudah disiapkan? Berikut beberapa faktor struktural dan administratif yang bisa menjelaskan:
Status kepegawaian belum resmi sebagai PPPK
Ini menjadi faktor utama yang terus diulang oleh pihak BGN. Karena staf SPPG belum resmi masuk dalam status PPPK pada awal 2025, dana yang dialokasikan untuk PPPK tidak bisa digunakan untuk membayar mereka.
Dalam sistem keuangan negara, pengalihan dana antar jenis belanja (misalnya dari belanja pegawai ke belanja jasa) harus melalui prosedur tertentu, persetujuan, dan regulasi yang ketat. Karena belum tersinkron, maka pencairan terhambat.
Mekanisme anggaran negara yang rigid
Berbeda dengan sistem keuangan swasta yang relatif fleksibel, penggunaan dana negara cenderung sangat terikat pada klasifikasi, jenis belanja, dan regulasi hukum. Dadan menyatakan bahwa dana publik “tidak seperti uang pribadi” — artinya, meskipun ada uang, penggunaannya tidak selalu bisa langsung diubah ke kebutuhan lain.
Ketika status kepegawaian belum sesuai, penggunaan anggaran untuk membayar staf bisa dianggap tidak sesuai klasifikasi, yang menyebabkan proses validasi lebih panjang.
Prosedur administrasi & persetujuan lembaga keuangan negara
Untuk menggunakan anggaran “jasa lainnya” atau mengalihkan penggunaan dana, perlu persetujuan dari lembaga seperti Kementerian Keuangan, KPPN (Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara), dan kemungkinan lembaga pengawas seperti BPK/BPKP.
Proses koordinasi, perubahan regulasi atau pergeseran klasifikasi belanja ini tidak bisa instan — butuh waktu bahkan ketika niat sudah ada.
Volume penerima dan besarnya nilai pembayaran
Dalam beberapa pemberitaan disebut bahwa jumlah staf SPPG (SPPI) yang terlibat mencapai ribuan orang (misalnya 1.994 orang).
Dengan jumlah yang besar, nilai total gaji yang harus dibayarkan bisa mencapai skala triliunan rupiah, sehingga proses pengajuan dispensasi atau penyesuaian besar menjadi lebih kompleks.
Selain itu, jika pembayaran terpisah satu per satu (supplier 2), beban administratif bisa sangat tinggi. Inilah sebabnya skema supplier 6 dipilih agar lebih efisien.
Implikasi & Dampak Keterlambatan Gaji
Keterlambatan pembayaran gaji staf SPPG bukan sekadar masalah administratif — ia memiliki konsekuensi yang nyata dan berpotensi merusak keabsahan program. Berikut beberapa dampak yang bisa muncul:
Morale & kinerja staf
Staf yang tidak menerima kompensasi meskipun telah bekerja punya risiko penurunan motivasi, loyalitas, dan kinerja. Hal ini dapat memengaruhi kualitas pengolahan makanan, kepatuhan standar kebersihan dan gizi, serta efektivitas distribusi.
Kerentanan konflik publik & citra pemerintah
Keterlambatan gaji menjadi bahan kritik, baik dari media, masyarakat, maupun lembaga pengawas. Isu ini bisa mengikis kredibilitas pelaksana program (BGN) dan menyulut pertanyaan publik tentang transparansi dan akuntabilitas penggunaan uang negara.
Gangguan operasional program MBG
Jika sebagian staf mengurangi jam kerja atau enggan menjalankan tugas lebih berat karena belum dibayar, maka operasional dapur, logistik, dan pemantauan mutu bisa terganggu. Akibatnya, distribusi makanan bergizi ke sekolah bisa terganggu atau terlambat.
Beban keuangan staf & dampak sosial
Staf yang mengandalkan gaji untuk kehidupan sehari-hari bisa mengalami kesulitan finansial: membayar kebutuhan pokok, transportasi, keluarga, tagihan, dsb. Ketidakpastian pembayaran bisa menambah stres sosial bagi mereka.
Evaluasi Solusi & Tantangan Ke Depan
Solusi yang dijanjikan pemerintah adalah langkah awal, tapi masih banyak pekerjaan rumah agar kasus serupa tak terulang. Berikut evaluasi solusi dan tantangan yang perlu diperhatikan:
Apakah mekanisme “jasa lainnya” efektif & legal?
Mekanisme ini bisa jadi jembatan sementara agar staf bisa dibayar, tapi menggolongkan staf sebagai “konsultan eksternal” memiliki batasan — misalnya dalam hal jaminan kerja, status pegawai, dan perlindungan hukum pekerja.
Pemerintah harus memastikan bahwa solusi ini tidak merugikan hak-hak staf dan bahwa langkah tersebut legal menurut regulasi keuangan negara.
Kejelasan status kepegawaian & kecepatan perubahan regulasi
Staf SPPG yang awalnya belum diangkat PPPK harus segera mendapatkan kejelasan status kepegawaian agar tidak selalu tergantung “solusi darurat”. Proses pengangkatan, regulasi pelengkap, dan sinkronisasi instansi terkait (Kementerian Keuangan, KemenPAN-RB, BKN, dll) harus dipercepat.
Transparansi & akuntabilitas
Pemerintah perlu secara terbuka mempublikasikan data: siapa staf yang belum dibayar, kapan jadwal pencairan, dan laporan pertanggungjawaban penggunaan dana. Dengan transparansi, publik dan staf bisa menilai kemajuan dan memastikan tidak ada potongan atau penyimpangan.
Mekanisme pembayaran rutin & pengawasan
Setelah solusi sementara berlalu, sistem pembayaran rutin (transfer langsung, jadwal tetap, mekanisme supplier kolektif) harus distandarisasi. Selain itu, pengawasan internal dan mekanisme aduan (keluhan staf) harus tersedia agar jika masalah muncul lagi bisa cepat ditangani.
Evaluasi beban administratif & efisiensi
Karena jumlah staf dan kompleksitas operasional cukup besar, pemerintah harus mengevaluasi sistem administratif agar beban kerja pengelolaan pembayaran tidak memakan waktu terlalu panjang. Teknologi digital dan sistem manajemen anggaran dapat membantu mempercepat proses.
Rekomendasi untuk Memperkuat Kepercayaan & Keberlanjutan
Berikut beberapa rekomendasi yang dapat mendukung agar program MBG tetap berjalan lancar dan masalah gaji tidak terulang:
- Penerbitan regulasi baku nasional
Harus ada regulasi resmi (misalnya Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Keuangan) yang mengatur status kepegawaian, mekanisme pembayaran, dan standar gaji staf SPPG di seluruh daerah. - Jadwal pembayaran tetap & transparan
Misalnya pembayaran dilakukan setiap tanggal tertentu dalam sebulan, dan data penerima gaji dipublikasikan agar staf tahu kapan mereka akan dibayar. - Insentif dan tunjangan tambahan
Untuk daerah terpencil atau beban kerja tinggi, diberikan tunjangan tambahan agar gaji menarik dan memperhitungkan kesulitan lokasi. - Pengembangan sistem manajemen keuangan digital
Sistem ERP (Enterprise Resource Planning) sederhana untuk SPPG agar laporan, anggaran, pembayaran, dan audit bisa dilakukan secara real time dan efisien. - Mekanisme aduan & perlindungan staf
Kanal resmi (online, telepon, pengaduan internal) agar staf bisa melaporkan keterlambatan atau ketidakadilan tanpa takut sanksi. - Kajian berkala & evaluasi program
Kementerian terkait dan BGN harus melakukan evaluasi secara rutin — aspek keuangan, pelaksanaan, kepuasan staf — agar kebijakan bisa disesuaikan bila muncul hambatan baru.
Kesimpulan
Keterlambatan pembayaran gaji staf SPPG dalam program MBG menjadi kasus menarik yang memperlihatkan betapa kompleksnya administrasi keuangan negara, regulasi kepegawaian, dan tantangan operasional pada skala nasional.
Walaupun alokasi anggaran sudah ada, keterlambatan muncul karena status kepegawaian belum resmi (PPPK), mekanisme anggaran yang rigid, proses persetujuan lembaga keuangan negara, dan volume besar penerima.
Pemerintah melalui BGN sudah memberikan penjelasan, permintaan maaf, dan janji penyelesaian melalui mekanisme “jasa lainnya” dan pembayaran kolektif — strategi yang bisa menjadi solusi sementara. Namun agar kasus ini tidak berulang, ke depan diperlukan regulasi yang jelas, transparansi, mekanisme pembayaran rutin, dan perlindungan hak staf.