Tunjangan DPR Meroket di Tengah Ekonomi Tertekan, Apakah Rasa Keadilan Terabaikan?

Tunjangan DPR Meroket di Tengah Ekonomi Tertekan: Apakah Rasa Keadilan Terabaikan?
Tunjangan DPR Meroket di Tengah Ekonomi Tertekan: Apakah Rasa Keadilan Terabaikan?

1. Rincian Angka dan Lonjakan Tunjangan

  • Gaji Pokok Tak Naik
    Sejak sekitar 15 tahun terakhir, gaji pokok anggota DPR tak mengalami kenaikan, masih berada di kisaran Rp 6,5–7 juta per bulan. Ketua dan Wakil Ketua DPR pun memiliki gaji pokok hanya di kisaran Rp 4,2–5 juta.
  • Tunjangan yang “Melambung”
    Sementara itu, berbagai pos tunjangan sudah dinaikkan:
  • Tunjangan beras naik dari sekitar Rp 10 juta menjadi Rp 12 juta per bulan,
  • Tunjangan bensin (BBM) naik dari kisaran Rp 4–5 juta menjadi sekitar Rp 7 juta per bulan.
  • Tunjangan perumahan diperkenalkan sebagai kompensasi penghapusan rumah dinas, mencapai sekitar Rp 50 juta per bulan. Bila dijumlahkan, total gaji pokok dan tunjangan (tanpa perumahan) dapat mencapai Rp 69–70 juta per bulan, belum termasuk tunjangan rumah.
  • Total “Take-Home Pay” Bisa Lampaui Rp 100 Juta
    Dengan tambahan tunjangan rumah, total penerimaan anggota DPR bisa melebihi Rp 100 juta per bulan, bahkan disebut mencapai Rp 120 juta apabila dihitung penuh.
BACA JUGA :
Demo Bubarkan DPR di Jakarta, Pelajar STM, Mahasiswa & Ojek Online Terlibat

2. Kritik Publik dan Perbandingan Realitas

  • Ketimpangan dengan Ekonomi Masyarakat
    Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal, menilai bahwa kenaikan tunjangan DPR sangat kontradiktif di tengah ekonomi nasional yang melemah, penerimaan negara menurun (pajak turun 10%, PPN merosot 15,7%), dan upah riil pekerja terus turun—khususnya di sektor pertanian dan industri.
  • Kritik Pedas dari Pakar Kebijakan Publik
    Agus Pambagio secara tegas menyebut kebijakan ini “gila”, memperingatkan bahwa legislator bukanlah kelompok yang perlu “diberi subsidi bensin” saat publik lain sedang berjuang dengan kenaikan biaya hidup.
  • Menyakiti Hati Rakyat
    Achmad Nur Hidayat, pakar kebijakan publik lainnya, menyatakan bahwa kenaikan paket gaji dan tunjangan ini “menyakiti perasaan masyarakat”, terutama di saat PHK massal dan lonjakan pajak menggerayangi banyak keluarga.
  • Kesenjangan yang Mencolok
    Banyak pihak menyayangkan bahwa di saat masyarakat didorong untuk berhemat, para wakil rakyat justru mendapatkan tambahan tunjangan besar—sebuah ironi yang mencolok.
BACA JUGA :
Rumah Ahmad Sahroni di Tanjung Priok Digeruduk Massa, Barang Dijarah dan Disiarkan Langsung di Medsos

3. Klarifikasi DPR dan Upaya Meredam Polemik

  • Bantahan Kenaikan Gaji Pokok
    Wakil Ketua DPR Adies Kadir dan Ketua DPR Puan Maharani menegaskan tidak ada kenaikan gaji pokok, hanya penyesuaian tunjangan sebagai kompensasi atas penghapusan rumah dinas serta inflasi kebutuhan pokok.
  • Penyesuaian Indeks Biaya Hidup
    Adies beralasan bahwa kenaikan tunjangan, khususnya beras dan bensin, adalah untuk menyesuaikan dengan kondisi ekonomi saat ini; bahkan ia sempat berseloroh bahwa Kementerian Keuangan mungkin “kasihan” dengan kondisi mereka.
BACA JUGA :
Rumah Ahmad Sahroni di Tanjung Priok Digeruduk Massa, Barang Dijarah dan Disiarkan Langsung di Medsos

4. Dampak ke Publik dan Refleksi Keadilan

AspekKondisi Saat IniRespons Publik & Pakar
Gaji Pokok DPRStagnan ~Rp 6,5–7 juta/bulanDipandang kecil dibanding tunjangan besar
TunjanganBeras, bensin, rumah naik drastisMenimbulkan ketidakadilan dan kemarahan publik
Kondisi EkonomiLesu, penerimaan negara turunKenaikan dianggap tidak sensitif dan kontras
Persepsi PublikLegislatif untung besar di krisis ekonomiMerasa dikecewakan, memicu perbandingan tak adil

Kesimpulan

Kenaikan tunjangan DPR, khususnya untuk beras, bensin, dan perumahan, telah memicu kritik tajam dan menciptakan friksi yang tajam antara publik dan lembaga legislatif. Masyarakat melihat ini sebagai simbol ketidakpedulian dan ketidakadilan fiscal—di saat rakyat sedang menahan beban ekonomi, wakil rakyat justru menerima “bonus”.

Apakah semangat efisiensi dan solidaritas bersama benar-benar ditegakkan? Atau preseden ini justru mencederai kepercayaan publik terhadap representasi mereka?