Empat Lawang, FAKTUAL.CO.ID – Bawaslu empat lawang kembali mengelar musyawarah terbuka sengketa proses pilkada yang dilayangkan kubu bakal pasangan calon (bapaslon) H Budi Antoni Aljufri (HBA) dan Heny Verawati pada Selasa 1 Oktober 2024.
Pada musyawarah terbuka kali ini, Bawaslu menghadirkan pihak terkait (Pengacara Joncik-Arifa’i) untuk memberikan pernyataan dan mendengarkan jawaban termohon (KPU).
Bawaslu Empat Lawang pada musyawarah tersebut menepis tuduhan masyarakat tidak netral, buktinya Bawaslu empat lawang telah bekerja sesuai Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) dan mengabulkan keberatan dari pihak pemohon.
Ketua Bawaslu Rodi Karnain melalui Koordinator Sekretariat Aldiwan Putra Haira mengatakan, ” Keberatan termohon diterima dengan tidak masuknya Hengki Gunawan dari Majelis Musyawarah Penyelesaian sengketa proses pilkada. Bawaslu tetap mengedepankan transparansi sesuai peraturan Bawaslu dan bersikap netral,” ucap Aldiwan.
Sementara itu, Taufikurahman Pengacara pihak terkait meminta masyarakat mewaspadai narasi disosial media yang mencoba memutar balikan fakta. Menurut Taufikurahman penghiantan HBA terhadap kepercayaan masyarakat empat lawang dengan menyalagunakan wewenangnya demi kepentingan pribadi dan kelompoknya merupakan bukti jelas bahwa ia tidak memiliki moralitas dan integritas untuk memimpin kembali.”HBA itu mantan koruptor sudah cacat secara moral, harusnya tidak usah mencalonkan lagi, sudah sudahlah, ” kata Taufikurahman selepas persidangan.
Ucapan Taufikurahman bukan tanpa alasan, HBA diketahui memang pernah dihukum karena melakukan praktek suap terhadap ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dalam perkara pengurusan sengketa Pilkada Kabupaten Empat Lawang tahun 2013.
Dikutip dari berbagai sumber HBA pernah meringkuk dijeruji besi atas kasus suap.”Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Budi Antoni Aljufri oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 tahun dan terdakwa Suzana Budi Antoni dengan pidana penjara selama 2 tahun serta masing-masing dipidana denda sebesar Rp150 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama 2 bulan,” kata ketua majelis hakim M. Mukhlis dalam sidang pembacaan vonis di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (14/1).
Mukhlis, Johanes Priyana, Jhon Halasan Butarbutar, Sofialdi dan Anwar itu bahkan lebih rendah dari pidana minimal dari dua pasal dakwaan yang terbukti yaitu pasal 6 ayat 1 huruf a UU Tipikor juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan pasal 22 juncto pasal 35 ayat 1 UU Tipikor juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP yaitu minimal dipenjara selama 3 tahun.
“Terdakwa 2 terbukti melakukan perbuatan pidana tapi bukan akumulasi dakwaan 1 dan 2, tapi sebagai wujud kepatuhan istri kepada suami yang secara sosio kultural dianut di Indonesia. Majelis mempertimbangan pula anak-anak terdakwa 1 dan 2 yaitu 3 anak yang masih membutuh pendidikan dan kasih sayang dimana putusan pidana akan menimbulkan beban psikologis kepada terdakwa dan anak-anak sehingga majelis memutuskan untuk memberikan pidana lebih ringan kepada terdakwa 2, Suzana Budi Antoni sehingga tidak tunduk pada tuntutan minimum baik pasal 6 maupun pasal 22,” ujar Mukhlis.
Dalam dakwaan pertama, keduanya dinilai terbukti memberikan uang lebih kurang Rp10 miliar dan 500 ribu dolar AS atau setara Rp5 miliar kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar melalui tangan kanannya Muhtar Ependy untuk memenangkan gugatan yang diajukan oleh Budi Antoni dann Syahril Hanafiah ke MK dalam sengketa pilkada Empat Lawang karena kalah dari pasangan Joncik Muhammad dan Ali Halimi.
Journalis : Surya dilaga