Kepala Daerah Terancam Sanksi Karena Tak Usulkan Formasi PPPK Paruh Waktu

Kepala Daerah Terancam Sanksi Karena Tak Usulkan Formasi PPPK Paruh Waktu
Foto: AI

Pendahuluan

Pemerintah pusat telah merilis aturan baru terkait Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), termasuk skema penuh waktu dan paruh waktu. Kehadiran skema ini diharapkan menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah tenaga honorer yang jumlahnya masih jutaan di seluruh Indonesia.

Namun, tidak semua pemerintah daerah menyambut kebijakan ini dengan antusias. Sebagian kepala daerah bahkan terancam sanksi administratif maupun hukum karena dianggap tidak menindaklanjuti arahan pemerintah pusat, terutama terkait formasi PPPK paruh waktu.

Lantas, apa sebenarnya kewajiban kepala daerah dalam usulan formasi ini, mengapa ada yang enggan melaksanakannya, dan apa konsekuensinya?

Bab I: Latar Belakang Regulasi

1.1 UU ASN Baru

  • UU No. 20 Tahun 2023 menegaskan bahwa ASN terdiri dari PNS dan PPPK.
  • PPPK menjadi solusi cepat untuk mengurangi beban honorer.

1.2 Lahirnya Skema Paruh Waktu

  • MenPANRB memperkenalkan PPPK paruh waktu pada 2025.
  • Target utama: guru honorer dengan jam mengajar sedikit, tenaga ahli yang tidak butuh jam kerja penuh, dan tenaga administratif terbatas.
BACA JUGA :
Waspada Hoaks, Tautan Pendaftaran PPPK 2025 di Facebook Terindikasi Phishing

1.3 Kewajiban Daerah

  • Pemerintah pusat mewajibkan daerah mengusulkan formasi PPPK penuh dan paruh waktu sesuai kebutuhan.
  • Jika tidak diusulkan, dianggap melanggar kebijakan nasional.

Bab II: Mengapa Daerah Enggan Mengusulkan PPPK Paruh Waktu?

2.1 Faktor Anggaran

  • Banyak daerah merasa APBD terbebani jika harus mengusulkan PPPK, meski paruh waktu dianggap lebih hemat.

2.2 Faktor Politik

  • Beberapa kepala daerah khawatir PPPK paruh waktu akan menimbulkan kecemburuan sosial karena status berbeda.
  • Ada kekhawatiran gelombang protes dari honorer yang menuntut penuh waktu.

2.3 Faktor Administrasi

  • Belum semua BKD memahami mekanisme teknis.
  • Sosialisasi aturan dinilai masih kurang jelas.

Bab III: Ancaman Sanksi Bagi Kepala Daerah

3.1 Sanksi Administratif

Menurut aturan MenPANRB, kepala daerah bisa kena:

  • Teguran tertulis.
  • Evaluasi kinerja oleh Kementerian Dalam Negeri.
  • Pemotongan atau penundaan dana transfer.

3.2 Sanksi Hukum

  • Jika terbukti sengaja menghambat kebijakan nasional, bisa terkena sanksi pidana administrasi pemerintahan.
  • Ada kemungkinan masuk kategori melawan kebijakan pemerintah pusat, yang berimplikasi hukum tata negara.
BACA JUGA :
Pengangkatan PPPK 2025 Wajib Rampung Oktober Ini

3.3 Risiko Politik

  • Kepala daerah yang tidak patuh bisa dianggap tidak mendukung program prioritas nasional → berpengaruh pada citra politik.

Bab IV: Dampak ke Tenaga Honorer dan Masyarakat

4.1 Dampak Bagi Honorer

  • Honorer yang seharusnya bisa diangkat PPPK paruh waktu tetap berada dalam ketidakpastian.
  • Menimbulkan keresahan, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan.

4.2 Dampak Bagi Masyarakat

  • Kekurangan tenaga guru, tenaga medis, dan staf administrasi tetap terjadi.
  • Pelayanan publik tidak membaik meski ada kebijakan nasional.

Bab V: Studi Kasus

5.1 Daerah A – Menolak Usulan PPPK Paruh Waktu

  • Alasan: takut menambah beban anggaran.
  • Dampak: ratusan guru honorer tetap terkatung-katung.

5.2 Daerah B – Mengusulkan PPPK Paruh Waktu

  • Hasil: bisa menyerap tenaga honorer lebih banyak.
  • Namun muncul protes dari pegawai yang merasa “dipinggirkan” karena hanya diberi status paruh waktu.
BACA JUGA :
MenPAN-RB No. 16 Tahun 2025: Regulasi PPPK Paruh Waktu Terbaru

5.3 Daerah C – Mengusulkan Campuran

  • Usulkan penuh waktu dan paruh waktu sekaligus.
  • Lebih diterima karena dianggap adil.

Bab VI: Rekomendasi

  1. Sosialisasi intensif dari pemerintah pusat agar daerah tidak salah tafsir.
  2. Standarisasi anggaran PPPK paruh waktu agar tidak membebani APBD.
  3. Pengawasan lebih ketat dari Kemendagri dan BKN.
  4. Dialog dengan tenaga honorer sebelum menetapkan formasi.

Kesimpulan

Kebijakan PPPK paruh waktu sejatinya hadir untuk memberi jalan keluar bagi tenaga honorer. Namun, implementasi di lapangan menghadapi kendala serius, terutama dari pemerintah daerah yang enggan mengusulkan formasi.

Kepala daerah yang tidak patuh bukan hanya berisiko mendapat sanksi administratif dan politik, tetapi juga bisa dianggap melawan kebijakan nasional dengan konsekuensi hukum.

Pada akhirnya, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada komitmen daerah, transparansi anggaran, dan komunikasi yang baik antara pusat, daerah, dan tenaga honorer.