Kisah Nyata
Melawan Takdir: Kisah Cinta yang Tak Pernah Usai
Bab 1 – Pertemuan Tak Terduga
21 Desember 2018.
Matahari sore menggantung rendah di ufuk barat, seolah enggan mengakhiri harinya. Cahaya keemasan menyapu jalanan kota kecil itu, membiaskan kilau hangat di antara dedaunan yang masih basah sisa hujan siang tadi. Udara lembab, membawa aroma tanah basah bercampur wangi kopi dari warung di sudut Kota yang selalu membuat hati terasa tenang, meski entah kenapa, juga sedikit melankolis.
Myn menurunkan kameranya dari leher. Lensa yang tadi membidik ratusan momen kini terkulai, seolah ikut lelah. Ia baru saja menyelesaikan sesi pemotretan kecil untuk salah satu kliennya, dan seperti biasa, ia menghabiskan beberapa menit terakhir hanya untuk mengamati dunia di sekelilingnya.
Sebagai fotografer, Myn sudah terbiasa memandang hidup melalui bingkai lensa mencari sudut terbaik, mengintip cahaya yang tepat, menunggu momen sempurna. Namun, sore itu, sebelum ia sempat membereskan semua peralatan, langkah ringan terdengar mendekat.
Seorang gadis.
Ia mengenakan kemeja kotak-kotak longgar, celana jeans sederhana, dan jilbab yang terikat rapi. Ada sesuatu pada caranya melangkah bukan tergesa, tapi juga bukan ragu. Seperti seseorang yang tahu kemana ia akan pergi, namun masih memberi ruang untuk kejutan di tengah perjalanan. Di matanya, Myn menangkap kilau rasa ingin tahu, murni seperti anak kecil yang pertama kali menginjakkan kaki di taman bermain.
“Om fotografer, ya?” tanyanya sambil sedikit menunduk.
Suaranya ringan, tapi ada nada percaya diri yang menyusup di balik ketenangannya. Myn menatap sebentar sebelum tersenyum tipis.
“Iya, kenapa?”
“Aku Dwi.” Ia berhenti sebentar, seolah menimbang kalimat berikutnya.
Myn merogoh ponselnya, lalu berkata tanpa basa-basi, “Boleh minta nomor HP-nya, dek?”
Dwi mengangkat alis, separuh heran. “Buat apa, Om?”
“Ya… buat teman aja, dek.” Myn mencoba terdengar santai, meski dalam hati ia bertanya-tanya kenapa ia tiba-tiba menginginkan kontak gadis ini.
“Ohh, iya,” jawab Dwi singkat, sambil menyebutkan nomornya.
Myn hanya mengangguk. Jarang sekali ia disapa seakrab ini, apalagi oleh gadis yang kelihatannya baru lulus sekolah. Tapi ada sesuatu dalam tatapan Dwi, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Bukan sekadar ramah. Lebih dari itu. Seperti sebuah isyarat samar dari alam, sebuah undangan untuk melangkah ke jalan yang belum pernah ia tempuh.
Percakapan mereka pun dimulai. Awalnya ringan tentang kamera, foto, dan hobi masing-masing. Tak ada topik besar, tak ada pengakuan mendalam. Namun entah mengapa, obrolan itu mengalir begitu saja, tanpa hambatan. Seperti sungai yang menemukan jalannya sendiri menuju laut.
Di sela tawa singkat dan senyum malu-malu, Myn menyadari satu hal: ia jarang merasa selepas ini saat berbicara dengan orang baru. Seolah Dwi membawa udara segar ke dalam ruang hidupnya yang sudah lama terasa pengap.
Hari itu, bagi orang lain mungkin hanya sore biasa di kota kecil. Tapi bagi Myn, itu adalah garis awal sebuah cerita panjang kisah yang kelak akan menguji keyakinan, menantang logika, dan mengguncang hatinya hingga ke akar.
Ia tidak tahu, bahwa pertemuan singkat itu akan menjadi awal dari sebuah perjalanan cinta yang tidak akan pernah benar-benar usai.[Bersambung]