Oleh: H.Hendri Pani Dias, S.Ag.,MA
Kepala Bidang Pendidikan Madrasah Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sumatera Barat dan mahasiswa S3 UMSB
Dalam kajian Ushul Fiqh, pemahaman terhadap lafaz-lafaz dalam Al-Qur’an dan Hadis merupakan aspek krusial dalam proses penetapan hukum Islam (Kamali, 2022). Salah satu aspek yang sering menjadi perhatian ulama adalah konsep Mubham al-Dalalah, yaitu lafaz yang memiliki tingkat ketidakjelasan tertentu dalam maknanya (Hallaq, 2017).
Pemahaman terhadap konsep ini sangat penting karena mempengaruhi bagaimana hukum Islam dirumuskan dan diterapkan dalam berbagai konteks kehidupan. Kaidah ini mencakup empat kategori utama, yaitu al-Khafi, al-Musykil, al-Mujmal, dan al-Mutasyabih (Al-Amidi, 2018).
Meskipun keempat kategori ini sering dibahas dalam kitab-kitab klasik, terdapat perbedaan mendasar dalam karakteristiknya yang mempengaruhi metode interpretasi yang digunakan dalam hukum Islam (Nyazee, 2019). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam perbedaan, karakteristik, serta implikasi dari keempat kategori tersebut dalam hukum Islam (Al-Juwayni, 2021).
Dengan memahami konsep ini secara lebih mendalam, diharapkan para akademisi, peneliti, dan praktisi hukum Islam dapat memperoleh wawasan yang lebih komprehensif mengenai metode penetapan hukum yang didasarkan pada nash yang memiliki tingkat ketidakjelasan tertentu.
Klasifikasi dan Karakteristik Mubham al-Dalalah
- Al-Khafi adalah lafaz yang maknanya tersembunyi karena adanya faktor eksternal, misalnya kata “sāriq” (pencuri) dalam hukum hudud yang perlu diklarifikasi terkait kriteria pelakunya dan keadaan tertentu yang menyebabkan seseorang dikategorikan sebagai pencuri menurut syariat Islam (Al-Ghazali, 2020). Dalam kasus ini, aspek yang menyebabkan ketidakjelasan berasal dari luar teks itu sendiri, seperti perbedaan kondisi atau konteks sosial yang mempengaruhi penerapannya dalam hukum Islam. Oleh karena itu, dalam memahami al-Khafi, diperlukan analisis kontekstual dan tidak hanya bergantung pada teks secara literal.
- Al-Musykil adalah lafaz yang memiliki makna ambigu karena adanya keserupaan makna antara dua atau lebih konsep yang berbeda. Misalnya, dalam ayat tentang rukyat hilal, terdapat ambiguitas mengenai bagaimana proses penentuan awal bulan harus dilakukan, apakah melalui metode pengamatan langsung ataukah dengan menggunakan perhitungan astronomi (hisab). Perbedaan dalam memahami ayat ini telah melahirkan berbagai pendapat di kalangan ulama fikih mengenai metode yang paling tepat dalam menentukan awal bulan hijriyah (Shihab, 2020). Oleh karena itu, dalam kasus al-Musykil, diperlukan pendekatan hermeneutis yang lebih mendalam guna menentukan makna yang lebih sesuai dengan maksud syar’i.
- Al-Mujmal, di sisi lain, adalah lafaz yang secara inheren tidak jelas hingga ada penjelasan dari sumber lain, seperti kata “shalat” dalam Al-Qur’an yang diperjelas oleh Hadis mengenai tata cara pelaksanaannya (Wahbah al-Zuhayli, 2021). Dalam kajian Ushul Fiqh, konsep al-Mujmal menegaskan pentingnya dalil-dalil tafsiran dari sumber lain, seperti Hadis dan Ijma’, dalam memahami ketentuan hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an. Oleh karena itu, ulama sepakat bahwa dalam memahami lafaz-lafaz mujmal, pendekatan yang digunakan tidak boleh terbatas pada teks itu sendiri, tetapi harus mempertimbangkan dalil-dalil pendukung yang menjelaskan makna lafaz tersebut secara lebih spesifik.
- Al-Mutasyabih adalah lafaz yang ketidakjelasannya mendalam dan tidak dapat diketahui maknanya secara pasti kecuali oleh Allah, misalnya dalam ayat-ayat yang membahas sifat-sifat Allah seperti istiwā’ di atas ‘Arsy, yadullah (tangan Allah), dan lain-lain (Ibn Taymiyyah, 2018). Dalam memahami kategori ini, terdapat perbedaan mendasar antara ulama salaf dan ulama khalaf. Ulama salaf lebih cenderung menyerahkan maknanya kepada Allah (tafwidh), sementara ulama khalaf berupaya menafsirkannya secara majazi agar sesuai dengan prinsip tanzih (pensucian Allah dari sifat-sifat makhluk). Oleh karena itu, perbedaan dalam pendekatan terhadap al-Mutasyabih menjadi salah satu aspek yang penting dalam kajian teologi Islam.
Implikasi dalam Metode Interpretasi Hukum Islam
Dalam kajian Ushul Fiqh, pentingnya memahami Mubham al-Dalalah bukan hanya sekadar memahami bahasa, tetapi juga menentukan metode yang tepat dalam istinbat (penggalian) hukum (Al-Razi, 2019). Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan beberapa lafaz yang masuk dalam kategori ini, sehingga kajian ini menjadi sangat penting dalam disiplin ilmu hukum Islam. Ketidakjelasan makna dalam teks syar’i sering kali menuntut adanya metode interpretasi yang lebih sistematis dan mendalam.
Metode interpretasi yang digunakan dalam menghadapi lafaz Mubham al-Dalalah melibatkan pendekatan tekstual dan kontekstual (Kamali, 2022). Beberapa metode yang sering digunakan oleh para ulama adalah qiyas (analogi hukum), istihsan (preferensi hukum), dan ijma’ (kesepakatan ulama). Dengan pendekatan ini, para ulama berusaha memberikan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap teks-teks syar’i (Hallaq, 2017).
Sebagai contoh, dalam memahami al-Mutasyabih, beberapa ulama berpendapat bahwa teks harus dipahami secara harfiah (zahir), sementara ulama lain menafsirkannya secara majazi agar tidak bertentangan dengan prinsip ketauhidan dalam Islam (Al-Amidi, 2018). Perbedaan ini mencerminkan pentingnya pendekatan metodologis dalam memahami hukum Islam agar tidak terjadi penyimpangan dalam penafsiran.
Relevansi dalam Konteks Hukum Kontemporer
Pemahaman yang kurang tepat terhadap konsep Mubham al-Dalalah dapat menyebabkan kesalahan dalam penerapan hukum Islam (Nyazee, 2019). Oleh karena itu, pengkajian mendalam terhadap kategori ini sangat penting dalam dunia akademik maupun praktik keagamaan (Al-Juwayni, 2021). Beberapa penelitian terbaru dalam bidang Ushul Fiqh juga menyoroti pentingnya memahami Mubham al-Dalalah dalam konteks modern, khususnya dalam isu-isu hukum kontemporer (Al-Ghazali, 2020). Dalam dunia yang semakin kompleks, metode interpretasi yang tepat menjadi semakin diperlukan (Shihab, 2020).
Kajian ini juga memberikan wawasan tentang bagaimana ulama klasik dan modern memahami perbedaan kategori Mubham al-Dalalah serta bagaimana konsep ini diadaptasi dalam menghadapi tantangan hukum Islam di era kontemporer (Wahbah al-Zuhayli, 2021). Misalnya, dalam penerapan hukum Islam terhadap transaksi keuangan modern, terdapat banyak istilah yang memiliki kemiripan makna dengan konsep-konsep hukum Islam klasik tetapi memiliki perbedaan dalam praktiknya. Hal ini menuntut adanya analisis mendalam berdasarkan kaidah-kaidah Ushul Fiqh agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami hukum Islam di era modern.
Dengan semakin berkembangnya studi keislaman, penting bagi akademisi dan praktisi hukum Islam untuk memahami konsep Mubham al-Dalalah secara mendalam agar dapat mengaplikasikan hukum Islam dengan lebih tepat dan relevan dengan konteks zaman (Ibn Taymiyyah, 2018). Studi ini tidak hanya memiliki dampak dalam ranah akademik, tetapi juga dalam pengambilan keputusan hukum Islam yang lebih akurat dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan maqashid syariah.