Pendahuluan
Perubahan harga bahan bakar minyak (BBM) adalah isu yang selalu menarik perhatian masyarakat Indonesia — dari pengendara motor & mobil, operator angkutan umum, hingga pelaku usaha logistik. Harga BBM sangat memengaruhi biaya transportasi, distribusi barang, dan secara lebih luas berdampak ke inflasi.
Pada 1 Oktober 2025, PT Pertamina (Persero) melakukan penyesuaian harga untuk sejumlah jenis BBM non-subsidi. Dua jenis BBM yang mengalami kenaikan adalah Dexlite dan Pertamina Dex, sedangkan harga BBM bersubsidi tetap stabil. Artikel berikut membahas secara rinci perubahan harga, penyebab, dampak, perbandingan lintas merek, serta prediksi ke depan.
Ringkasan Perubahan Harga per 1 Oktober 2025
Berikut ikhtisar perubahan harga BBM Pertamina mulai 1 Oktober 2025:Jenis BBM Harga Sebelumnya* Harga Baru Keterangan Pertalite (subsidi) Rp 10.000 / liter Rp 10.000 / liter Tidak berubah Solar subsidi / Biosolar Rp 6.800 / liter Rp 6.800 / liter Tidak berubah Pertamax (RON 92) Rp 12.200 Rp 12.200 Stabil Pertamax Turbo (RON 98) Rp 13.100 Rp 13.100 Stabil Pertamax Green (RON 95) Rp 13.000 Rp 13.000 Stabil Dexlite (CN 51) Rp 13.600 Rp 13.700 Naik Rp 100 Pertamina Dex (CN 53) Rp 13.850 Rp 14.000 Naik Rp 150
- Harga sebelumnya merujuk pada tarif yang berlaku sebelum 1 Oktober 2025 di banyak daerah Indonesia. (Berbagai media mencatat angka ini)
Beberapa poin penting:
- Kenaikan hanya terjadi di dua jenis BBM non-subsidi (Dexlite & Pertamina Dex).
- Harga bensin jenis Pertamax maupun varian turunannya tidak mengalami perubahan.
- Harga BBM subsidi (Pertalite & Solar subsidi) tetap stabil, tanpa kenaikan.
- Penyesuaian harga ini berlaku nasional, namun dengan variasi kecil antar‐wilayah karena komponen biaya distribusi.
Contoh regional: di Kalimantan, harga pertamax tetap Rp 12.500 per liter di sebagian besar wilayah, sementara kenaikan terjadi pada Dexlite dan Dex.
Latar Belakang: Kenapa Hanya Dexlite & Pertamina Dex yang Naik?
Walaupun sebagian besar jenis BBM tidak berubah, kenaikan untuk Dexlite dan Pertamina Dex tidak terjadi tanpa alasan. Berikut analisis beberapa faktor penyebab:
1. Formula Harga Dasar & Kebijakan Pemerintah
Penetapan harga eceran BBM non-subsidi di Indonesia mengacu pada Kepmen ESDM No. 245.K/MG.01/MEM.M/2022 sebagai revisi dari Kepmen No. 62 K/12/MEM/2020. Kebijakan ini menetapkan formula harga dasar yang mempertimbangkan berbagai komponen — mulai dari harga internasional, kurs rupiah, pajak, margin, hingga ongkos distribusi.
Perusahaan energi seperti Pertamina mesti menyesuaikan harga berdasarkan formula ini agar tidak merugi saat biaya input naik. Karena Dexlite dan Pertamina Dex memiliki karakteristik (quality, kandungan CN, tingkat pemrosesan) yang lebih tinggi, mereka lebih sensitif terhadap fluktuasi harga komponen seperti minyak mentah, nilai tukar, dan biaya produksi.
2. Kenaikan Biaya Produksi & Komponen Impor
BBM jenis tinggi seperti Dexlite dan Pertamina Dex biasanya memerlukan bahan baku atau aditif khusus, yang di sebagian kasus harus diimpor atau diproduksi dengan teknologi lebih rumit. Bila biaya impor (misal bahan kimia aditif) naik karena fluktuasi nilai tukar rupiah atau biaya pengiriman global, maka margin produksi BBM jenis ini akan menipis, sehingga perlu penyesuaian harga.
Misalnya, jika kurs rupiah melemah terhadap dolar AS, atau harga minyak dunia naik, maka biaya produksi dan transport menjadi lebih mahal.
3. Permintaan & Daya Beli Konsumen
Jenis BBM seperti Pertamax dan turunannya seringkali difavoritkan konsumen menengah karena keseimbangan harga dan kualitas. Untuk Dexlite dan Pertamina Dex, konsumen biasanya adalah kendaraan diesel khusus atau pengguna yang mencari performa lebih baik. Dalam kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat yang belum tertekan secara ekstrem, menaikkan harga jenis premium bisa lebih “dijalankan” dibanding menaikkan harga jenis massa yang berdampak langsung ke banyak orang.
4. Upaya Menyeimbangkan Subsidi & Keuangan Negara
Subsidi BBM merupakan beban besar bagi keuangan negara. Pemerintah biasanya menjaga agar BBM bersubsidi (Pertalite & Solar) tetap terjangkau agar beban bagi masyarakat tidak terlalu berat. Karena itu, penyesuaian harga cenderung diarahkan ke jenis non-subsidi. Kenaikan harga pada Dexlite & Pertamina Dex bisa dilihat sebagai langkah menjaga agar beban penyesuaian tidak terlalu berat bagi konsumen kelas menengah ke bawah.
Dampak Kenaikan Harga: Siapa yang Terpengaruh?
Walaupun kenaikannya relatif kecil (Rp 100-150 per liter), efeknya bisa terasa, terutama bila volume konsumsi tinggi. Berikut analisis dampak di berbagai lapisan masyarakat dan sektor:
1. Pengguna Kendaraan Pribadi (Diesel)
Pemilik kendaraan bermesin diesel yang menggunakan Dexlite atau Pertamina Dex akan merasakan langsung biaya operasional yang sedikit meningkat. Misalnya, kalau seseorang mengonsumsi 10 liter Dexlite per hari, kenaikan Rp 100 berarti tambahan biaya Rp 1.000 per hari, atau kira-kira Rp 30.000 per bulan (bila aktif 30 hari). Bila volume lebih besar, tambahan biaya juga meningkat seiring.
2. Angkutan & Logistik
Sektor logistik sangat tergantung pada bahan bakar. Kenaikan harga BBM jenis premium bisa mendorong perusahaan logistik untuk mencari efisiensi — mengurangi kosong perjalanan, mengoptimalkan rute, atau menaikkan tarif. Biaya distribusi barang mungkin naik tipis, dan ini bisa ikut mendorong kenaikan harga barang atau jasa di hulu ke konsumen akhir.
3. Inflasi & Harga Komoditas
Karena transportasi memengaruhi rantai pasok barang, kenaikan harga BBM dapat mendorong tekanan inflasi. Kenaikan barang kebutuhan pokok atau ongkir bisa sedikit lebih tinggi. Namun, karena kenaikannya tidak drastis, efeknya diperkirakan moderat dibanding kenaikan besar.
4. Konsumen Menengah Bawah
Karena subsidi BBM (Pertalite & Solar) tidak berubah, pengguna jenis itu tidak akan merasakan dampak langsung dari kenaikan harga Dexlite & Pertamina Dex. Namun, efek tidak langsung melalui kenaikan ongkos distribusi bisa sedikit terasa di barang-barang yang lebih mahal atau layanan.
5. Daya Saing dengan BBM Luar & Kompetitor
Kenaikan harga Dexlite & Pertamina Dex juga bisa membuka peluang bagi BBM kompetitor (Shell, BP, Vivo) untuk merebut konsumen kelas atas/menengah dengan menawarkan harga atau kualitas yang lebih menarik. Perbandingan antar merek (lihat bagian berikut) menjadi penting dalam konteks kompetisi pasar BBM.
Perbandingan Harga: Pertamina vs Shell, BP, Vivo
Meski fokus artikel ini adalah harga BBM Pertamina, penting bagi pembaca untuk melihat bagaimana posisi harga BBM Pertamina dibandingkan merek lain di pasar. Berikut ringkasan per 1 Oktober 2025:
- Shell Super (RON 92) naik menjadi Rp 12.890 per liter.
- Shell V-Power (RON 95) menjadi Rp 13.420 per liter.
- BP 92 (RON 92) menjadi Rp 12.890 per liter.
- Vivo Revvo series juga bersaing di kisaran harga bensin non-subsidi.
Dari data ini, tampak bahwa harga bensin merek non-Pertamina sedikit lebih tinggi dibanding varian non-subsidi Pertamina (Pertamax). Ini bisa menjadi keunggulan kompetitif bagi Pertamina dalam menjaga pangsa pasar bensin kelas menengah. Namun untuk BBM diesel atau kelas atas, perbedaan margin lebih tipis sehingga konsumen mungkin membandingkan kualitas dan promosi lebih ketat.
Rincian Harga per Wilayah & Variasi Lokal
Harga nasional yang diumumkan memang menjadi acuan, tetapi dalam praktiknya, harga di SPBU di masing-masing provinsi atau kota dapat bervariasi karena faktor distribusi, pajak daerah, ongkos transport, dan topografi. Berikut beberapa contoh variasi:
- Di Kalimantan: harga Pertamax stabil di Rp 12.500 per liter, sementara kenaikan berlaku pada Dexlite & Dex.
- Di wilayah Aceh dan Sumatera: Dexlite dan Dex naik ke angka sekitar Rp 14.000-14.300 per liter.
- Di Jabodetabek dan sekitarnya: kenaikan Dexlite dari Rp 13.600 ke Rp 13.700, dan Pertamina Dex dari Rp 13.850 ke Rp 14.000.
- Di Sulawesi: diberitakan kenaikan di Dexlite dan Dex di Sulawesi Selatan sesuai tren nasional.
Karena itu, meskipun angka nasional penting, konsumen sebaiknya memeriksa harga di SPBU lokal mereka (misalnya melalui aplikasi MyPertamina atau papan pengumuman SPBU) agar tahu tarif yang berlaku di tempat mereka.
Respons Publik & Kritik
Setiap penyesuaian harga BBM pasti memicu respons publik, terutama dari media dan kelompok masyarakat. Beberapa poin respons yang muncul:
- Ada keluhan dari sebagian pengguna diesel bahwa kenaikan, meskipun kecil, menambah beban operasional mereka.
- Sebagian pihak menilai bahwa kenaikan ini harus dikomunikasikan lebih transparan agar masyarakat memahami alasan di baliknya.
- Ada kekhawatiran bahwa kenaikan sedikit ini bisa menjadi “pintu” bagi kenaikan lebih besar di masa depan bila biaya global terus meningkat.
- Ada dorongan agar pemerintah memperkuat pengawasan agar subsidi tepat sasaran dan agar produsen BBM tidak menyalahgunakan kebijakan harga.
Strategi Konsumen: Tips Mengurangi Beban BBM
Di tengah kenaikan harga BBM jenis premium, konsumen bisa menerapkan beberapa strategi agar dampaknya tak terlalu berat:
- Optimalkan penggunaan kendaraan
Misalnya, hindari menghidupkan mesin dalam kondisi diam terlalu lama, padamkan AC yang tidak perlu, atau kurangi beban kendaraan agar konsumsi BBM lebih efisien. - Gunakan BBM sesuai spesifikasi mesin
Jika mesin kendaraan tidak butuh BBM premium (CN tinggi), tetap gunakan tipe yang sesuai agar tidak membayar kelebihan performa yang tidak digunakan. - Gunakan aplikasi & pantau harga lokal
Aplikasi seperti MyPertamina bisa memberi informasi harga BBM terdekat agar pengisian dilakukan di lokasi harga terjangkau. - Pertimbangkan transportasi publik / berbagi perjalanan
Untuk perjalanan harian, beralih sebagian ke transportasi publik atau sistem carpooling bisa mengurangi konsumsi sendiri. - Perawatan kendaraan secara rutin
Membuat mesin kendaraan optimal (filter bersih, tekanan ban benar, pelumasan baik) akan membantu efisiensi BBM.
Perspektif ke Depan: Prediksi Harga & Kondisi
Melihat dinamika global dan lokal, berikut sejumlah prediksi dan faktor yang perlu diperhatikan ke depan:
- Kenaikan global harga minyak & fluktuasi kurs rupiah
Jika harga minyak dunia naik atau rupiah melemah signifikan terhadap dolar AS, tekanan kenaikan harga BBM akan meningkat, termasuk di varian non-subsidi lainnya. - Kebijakan energi nasional & geopolitik
Kebijakan pemerintah (subsidi, impor, regulasi) dan kondisi geopolitik bisa memengaruhi pasokan bahan baku serta rantai distribusi. - Teknologi energi terbarukan & transisi ke bahan bakar alternatif
Seiring berkembangnya kendaraan listrik, biofuel, dan alternatif lainnya, konsumsi BBM fosil mungkin mulai tertekan di jangka panjang. Pengaruh ini bisa mengurangi kepekaan kenaikan BBM. - Tekanan politik & sosial
Penyesuaian harga BBM selalu menjadi isu politis. Bila kenaikan terlalu tinggi, potensi penolakan publik atau intervensi pemerintah bisa muncul. Pemerintah juga ingin menjaga inflasi agar tidak terlalu melonjak menjelang pemilu atau periode sensitif lainnya.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, kemungkinan besar harga BBM non-subsidi lainnya (seperti Pertamax Turbo atau varian lainnya) masih akan “dipantau” ketat sebelum dilakukan penyesuaian.
Kesimpulan
Mulai 1 Oktober 2025, hanya dua jenis BBM non-subsidi — Dexlite dan Pertamina Dex — mengalami kenaikan harga (masing-masing sekitar Rp 100 dan Rp 150 per liter). Sementara jenis lain seperti Pertamax, Pertamax Turbo, dan BBM subsidi (Pertalite & Solar) tetap stabil. Penyesuaian ini terkait dengan formula harga dasar, biaya produksi yang meningkat, dan upaya menjaga beban subsidi agar tidak terlalu besar.
Dampak kenaikan terasa terutama bagi pengguna diesel jenis premium dan sektor logistik. Namun bagi pengguna bensin massal dan mereka yang menggunakan BBM subsidi, dampaknya kurang signifikan secara langsung. Konsumen disarankan untuk tetap cermat menggunakan kendaraan, memantau harga lokal, dan memilih varian BBM sesuai kebutuhan agar beban tetap terkendali.