Staf & Ahli Gizi SPPG Akhirnya Terima Gaji Rp 19,3 Juta – Fakta atau Isu?

Staf & Ahli Gizi SPPG Akhirnya Terima Gaji Rp 19,3 Juta – Fakta atau Isu
Foto:AI

Pendahuluan

Publik sempat digegerkan dengan kabar bahwa staf dan spesialis (ahli gizi) yang bertugas di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) tidak menerima gaji selama beberapa bulan sejak peluncuran program Makan Bergizi Gratis (MBG). Namun belakangan muncul laporan bahwa mereka “akhirnya menerima gaji”, dan ada klaim bahwa besaran total gaji untuk kepala SPPG selama tiga bulan mencapai Rp 19,3 juta.

Benarkah klaim ini? Apakah angka tersebut realistis atau hanya spekulasi media? Artikel ini mengulas secara mendalam akar isu, laporan media, tanggapan pemerintah, dan implikasi dari klaim gaji staf & ahli gizi tersebut.

Siapa Staf & Ahli Gizi SPPG dan Perannya

Sebelum melihat ke klaim gaji, penting memahami siapa saja yang dimaksud:

  • Staf SPPG: petugas operasional di dapur, distribusi, administrasi, pengawasan mutu, pendukung teknis, dan logistik dalam unit pelayanan gizi.
  • Ahli Gizi: tenaga profesional yang bertugas menetapkan standar gizi, menyusun menu, melakukan pengawasan kualitas bahan dan hasil, serta menjadi pengawal mutu di dalam operasional dapur.
  • Keduanya bekerja di bawah koordinasi Kepala SPPG dan berhubungan langsung dengan Badan Gizi Nasional (BGN) dalam pelaporan dan pengawasan program MBG.

Peran mereka sangat vital agar makanan yang disajikan kepada siswa memenuhi standar gizi, higienitas, dan keamanan pangan — kekeliruan sedikit saja bisa merusak tujuan utama program.

Klaim: Rp 19,3 Juta untuk Kepala & Staf Tiga Bulan

Sumber klaim & laporan media

Beberapa media telah melaporkan angka ini. Contohnya:

  • Bloomberg Technoz memberitakan bahwa staf tetap MBG atau petugas SPPG memang sudah menerima gaji yang tertunda, dan menyebut bahwa “gaji yang diterima oleh Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) yang sudah ditempatkan sebagai kepala SPPG yakni dengan total Rp 19,3 juta per tiga bulan.”
  • Selain itu, laporan menyebut status magang menerima angka besar pula (sekitar Rp 17 juta per bulan) dalam periode tiga bulan.
  • Media reguler ekonomi seperti Detik mengutip bahwa gaji kepala SPPG dan ahli gizi akan cair dalam pekan depan setelah proses administrasi selesai, sebagai upaya untuk menuntaskan tunggakan.
  • Tempo juga menyebut bahwa gaji pekerja MBG disebut oleh pejabat BGN sekitar Rp 2 juta per bulan sebagai angka “umum” atau acuan.
BACA JUGA :
Kapolri Sebut 458 SPPG Siap Dukung Program MBG, Serap 22.850 Tenaga Kerja

Dari data ini, angka Rp 19,3 juta tampaknya merujuk pada pembayaran kumulatif rapel 3 bulan untuk posisi kepala SPPG atau staf dengan tanggung jawab tinggi.

Konteks & catatan penting

Beberapa hal yang harus dicermati:

  1. Klaim rapel, bukan gaji bulanan
    Angka Rp 19,3 juta itu dilaporkan sebagai total selama tiga bulan, bukan sebagai gaji tetap bulanan. Jadi, jika dibagi rata: sekitar ± Rp 6,43 juta per bulan untuk kepala SPPG yang bersangkutan.
  2. Status pegawai belum PPPK saat itu
    Salah satu hambatan pembayaran adalah bahwa para SPPI (termasuk kepala, staf, dan ahli gizi) belum sepenuhnya diangkat sebagai PPPK ketika anggaran MBG mulai dijalankan. Karena itu, anggaran yang disediakan untuk PPPK belum bisa langsung dipakai untuk mereka tanpa proses perubahan klasifikasi.
  3. Proses administrasi dan metode pembiayaan alternatif
    Pemerintah (BGN) menyebut telah menggunakan metode “jasa lainnya” atau SBML (Standar Biaya Masukan Lainnya) agar pembayaran bisa dilakukan, meskipun status pegawai belum sepenuhnya sinkron.
  4. Cek realisasi di daerah & variabilitas lokal
    Meski media nasional memberitakan angka-angka ini, tidak semua daerah mungkin telah membayar atau menerapkan besaran yang sama. Beberapa staf melaporkan bahwa pembayaran “serentak” belum selesai atau masih dalam antrean.

Tanggapan Pemerintah

Pemerintah, melalui Kepala BGN, telah memberikan berbagai tanggapan atas isu klaim dan realisasi gaji:

  • Dadan Hindayana menyatakan bahwa semua petugas SPPG sekarang rutin menerima gaji bulanan dan membantah adanya tunggakan untuk kepala SPPG.
  • BGN menegaskan bahwa mekanisme reimburse sudah ditinggalkan. Kini SPPG harus memiliki rekening virtual agar dana operasional bisa langsung disalurkan 10 hari ke depan.
  • Dalam pernyataan media Antara, Kepala BGN menyebut bahwa “seluruh petugas SPPG sudah dibayarkan” dan bahwa sistem pembayaran sudah dijalankan secara tertib.
  • Mengenai klaim Rp 19,3 juta itu, Dadan juga menyebut bahwa angka tersebut kurang lebih benar, terkait gaji untuk kepala SPPG selama periode tertunda.
BACA JUGA :
Pemerintah Tegaskan: Gaji Petugas SPPG Sudah Dibayar Rutin

Dengan demikian, pemerintah mengakui bahwa ada keterlambatan, tetapi menegaskan bahwa pembayaran telah dilakukan dan sistem telah diperbaiki.

Analisis: Apakah Rp 19,3 Juta Realistis & Adil?

Untuk menilai klaim ini secara kritis, kita perlu mempertimbangkan beban kerja, standar lokal, dan kesejahteraan petugas.

Beban kerja & tanggung jawab kepala SPPG

Seperti dijelaskan pada artikel sebelumnya, kepala SPPG memiliki tanggung jawab manajerial besar:

  • Memimpin tim staf (dapur, distribusi, kualitas, administrasi)
  • Menjalin koordinasi dengan BGN pusat dan mitra lokal
  • Penyusunan & pengawasan menu gizi dan keamanan pangan
  • Pengelolaan logistik & inventori bahan pangan
  • Pelaporan keuangan, administratif, dan audit

Jika Rp 19,3 juta dibagi tiga bulan, maka gaji sekitar Rp 6,4 juta per bulan bagi kepala SPPG bisa dianggap layak, terutama jika dibandingkan dengan gaji profesional setara di sektor publik di daerah tertentu.

Perbandingan pasar

  • Gaji ahli gizi di sektor umum (job listing) rata-rata Rp 4,94 juta hingga Rp 6,15 juta per bulan.
  • Sebagai pembanding, pejabat ASN atau pegawai pemerintah di jabatan struktural di daerah bisa saja menerima gaji + tunjangan di kisaran tersebut atau lebih tinggi, tergantung wilayah dan beban kerja.
  • Jika kepala SPPG beroperasi di daerah dengan biaya hidup rendah, angka Rp 6 jutaan per bulan bisa memberikan daya beli yang cukup, namun di daerah kota besar atau terpencil, mungkin terasa agak terbatas.

Catatan risiko & variabilitas

  • Kepala SPPG di daerah terpencil mungkin menghadapi beban tambahan (transportasi, distribusi jauh, kestabilan pasokan bahan baku) — yang seharusnya juga diperhitungkan dalam insentif tambahan.
  • Tidak semua kepala SPPG mungkin menerima nominal yang sama; daerah berbeda, kapasitas mitra lokal berbeda, dan kecepatan pencairan bisa berbeda.
  • Angka Rp 19,3 juta sangat tergantung pada konteks “rapel tiga bulan” — jika seseorang baru menjabat sebagian dari periode tersebut, gaji bisa kurang dari itu.
BACA JUGA :
Kisaran Gaji SPPG di Program MBG: Benarkah Rp 2 Juta Per Bulan?

Implikasi Klaim & Realisasi

Klaim dan realisasi ini membawa beberapa implikasi penting:

  1. Kredibilitas media & kepercayaan publik
    Publik perlu diberikan data terbuka agar klaim seperti Rp 19,3 juta tidak dianggap “hoaks” atau dilebih-lebihkan. Transparansi BGN sangat dibutuhkan.
  2. Standar pengupahan & keadilan antar daerah
    Jika kepala SPPG di satu daerah menerima Rp 6 jutaan per bulan, maka kepala SPPG di daerah lain harus punya acuan minimal agar tidak terjadi ketimpangan.
  3. Kesejahteraan optimal & insentif tambahan
    Agar gaji itu benar-benar bisa mendukung kebutuhan hidup, perlu tambahan tunjangan daerah, tugas ekstra, dan tunjangan beban kerja.
  4. Evaluasi efektivitas & beban administrasi
    Pembayaran rapel besar dapat memicu masalah arus kas petugas; lebih baik gaji berjalan tiap bulan agar tidak menumpuk.

Kesimpulan

Klaim bahwa staf & ahli gizi SPPG “akhirnya menerima gaji Rp 19,3 juta” nampaknya berdasarkan pembayaran rapel 3 bulan untuk kepala unit atau staf yang punya tanggung jawab besar. Nilai itu tidak berarti mereka menerima Rp 19,3 juta per bulan.

Angka tersebut tampak realistis sebagai kompensasi untuk posisi tinggi dengan tanggung jawab besar, namun harus dilihat dalam konteks beban kerja, variasi daerah, dan adaptasi insentif lokal agar tidak terjadi ketidakadilan.

Pemerintah (BGN) telah mengakui tunggakan, melakukan pembayaran, dan memperbaiki sistem agar gaji rutin bisa berjalan. Namun agar klaim semacam ini menjadi lebih kredibel, dibutuhkan transparansi data, standarisasi gaji, dan monitoring implementasi di daerah.

Penulis: EghaEditor: Redaksi