Kisaran Gaji SPPG di Program MBG: Benarkah Rp 2 Juta Per Bulan?

Kisaran Gaji SPPG di Program MBG: Benarkah Rp 2 Juta Per Bulan
Foto: AI

Pendahuluan

Program MBG (Makan Bergizi Gratis menjadi salah satu kebijakan unggulan pemerintah untuk mendukung pemenuhan gizi anak sekolah, mencegah stunting, dan meningkatkan kualitas kesehatan generasi muda. Dalam pelaksanaannya, pemerintah membentuk Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) sebagai unit operasional yang bertugas menyiapkan makanan bergizi sesuai standar gizi nasional.

Salah satu isu yang ramai diperbincangkan publik adalah gaji SPPG atau kompensasi yang diterima oleh petugas di unit tersebut. Banyak pihak mempertanyakan: benarkah gaji petugas itu sebesar Rp 2 juta per bulan? Apakah angka itu wajar, cukup, atau bahkan terlalu kecil dibanding beban kerja yang diemban?

Artikel ini mencoba mengulas secara mendalam: latar belakang program MBG dan SPPG, struktur organisasi dan peran SPPG, regulasi, laporan realitas di lapangan, perbandingan gaji dengan pekerjaan sejenis, tantangan dan kritik, hingga prospek ke depan.

Semoga pembahasan ini bisa memberi gambaran menyeluruh dan memantik diskusi konstruktif tentang bagaimana memastikan kesejahteraan petugas di garda depan program gizi nasional.

Latar Belakang Program MBG dan SPPG

Apa itu MBG dan mengapa dibentuk?

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) disusun sebagai upaya strategis pemerintah untuk:

  1. Memenuhi kebutuhan gizi anak sekolah, terutama di wilayah rawan gizi dan daerah 3T (terpencil, terluar, tertinggal).
  2. Menekan angka stunting dengan memasukkan asupan gizi yang optimal melalui makanan harian.
  3. Menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya asupan gizi seimbang.
  4. Menciptakan lapangan kerja baru, terutama bagi ibu rumah tangga atau masyarakat di sekitar, yang bisa turut serta menjadi petugas SPPG.

Dalam pelaksanaannya, MBG bekerja melalui dapur pusat atau dapur lokal (SPPG) yang menyiapkan menu bergizi sesuai standar, kemudian mendistribusikannya ke sekolah-sekolah target. Setiap SPPG juga bekerja sama dengan ahli gizi, pompa kontrol kualitas, dan lembaga lokal penunjang (koperasi, yayasan, perusahaan lokal).

SPPG: Fungsi, posisi, dan struktur organisasi

SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) adalah unit operasional di lapangan yang bertanggung jawab langsung terhadap produksi, pengolahan, pengawasan kualitas, dan distribusi makanan bergizi kepada penerima manfaat (umumnya siswa sekolah).

Beberapa poin penting mengenai SPPG:

  • SPPG dapat dikelola oleh mitra lokal (koperasi, yayasan, perusahaan lokal) bekerja sama dengan Badan Gizi Nasional (BGN).
  • Dalam satu SPPG, seringkali ada beberapa petugas lokal, termasuk staf dapur, relawan, anggota pengontrol kualitas, serta tim manajemen ringan.
  • BGN berkomitmen bahwa petugas SPPG akan mendapat perlindungan jaminan sosial (BPJS Ketenagakerjaan) tanpa memotong gaji mereka.

Karena peran sentral SPPG dalam menjembatani kebijakan gizi nasional dan pelaksanaan di lapangan, isu kesejahteraan petugas menjadi sangat penting agar program dapat berjalan efektif dan berkelanjutan.

Klaim “Rp 2 Juta per Bulan”: Benar atau Miskonsepsi?

Salah satu angka yang paling banyak dirujuk dalam pembicaraan publik adalah “Rp 2 juta per bulan” sebagai gaji petugas SPPG. Benarkah demikian?

Sumber klaim dan konfirmasi

Beberapa media menyebut bahwa petugas SPPG menerima gaji sekitar Rp 2 juta per bulan. Misalnya, Kepala BGN Dadan Hindayana menyatakan bahwa program MBG telah berhasil membayar ibu-ibu petugas SPPG minimal Rp 2 juta per bulan.

Selain itu, dalam laporan mengenai gaji MBG yang sebelumnya tertunda, disebutkan bahwa gaji petugas “sekitar Rp 2 juta per bulan.”

Namun, klaim tersebut seringkali disampaikan dalam konteks umum — “minimal” atau sebagai angka referensi — bukan sebagai angka resmi baku yang berlaku untuk semua petugas.

Realitas variasi menurut posisi dan status kerja

Setelah menelusuri berbagai laporan, muncul beberapa variasi nyata:

  • Beberapa petugas atau relawan di dapur MBG menyebut skema pembayaran harian atau dua mingguan berdasarkan jumlah hari kerja.
  • Ada laporan bahwa sistem penggajian sempat berubah karena mekanisme administrasi belum selesai, sehingga petugas belum menerima tiga bulan gaji awal mereka.
  • Untuk posisi kepemimpinan (Kepala SPPG, ahli gizi), ada indikasi kompensasi yang relatif lebih tinggi: laporan menyebut total Rp 19,3 juta untuk tiga bulan bagi seorang kepala SPPG atau staf ahli gizi.
BACA JUGA :
Presiden Prabowo Alokasikan Cepat Rp 335 Triliun untuk Program Makan Gratis, Kritik Re-centralisasi Memuncak

Dengan demikian, klaim “Rp 2 juta per bulan” lebih tepat dianggap sebagai angka dasar atau benchmark untuk petugas dengan beban paling standar, bukan angka yang berlaku seragam untuk semua posisi, status, atau wilayah.

Regulasi dan Hambatan Pembayaran Gaji Petugas SPPG

Agar pemahaman lebih utuh, penting juga melihat: mengapa pembayaran gaji petugas SPPG sempat tertunda, apa aturan yang mengaturnya, dan bagaimana pemerintah mencari solusi.

Status kepegawaian: PPPK dan administrasi yang belum rampung

Salah satu hambatan utama ketika program MBG diluncurkan adalah status kepegawaian petugas SPPG. Karena mereka belum secara resmi diangkat sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), penggunaan anggaran negara (APBN) untuk membayar gaji mereka tidak bisa langsung dilakukan.

Karena itu, BGN harus mencari mekanisme alternatif (seperti menggunakan anggaran jasa konsultan atau SBML — Standar Biaya Masukan Lainnya) agar pembayaran bisa segera dilakukan sambil menunggu status administratif selesai.

Dalam berjalannya waktu, kepala SPPG dan staf ahli gizi dipastikan akan menerima gaji mereka setelah administrasi rampung — seperti janji bahwa pembayaran harus selesai dalam pekan-pekan tertentu.

Proses digitalisasi dan sistem pembayaran virtual

Seiring perkembangan, BGN mengalihkan sistem pembayaran menjadi lebih digital, dengan penggunaan akun virtual resmi untuk transfer gaji petugas SPPG. Sistem ini memungkinkan pencairan gaji tiap 10 hari ke depan dan pelaporan yang lebih terstruktur.

Kepala BGN menyebut bahwa gaji petugas SPPG kini rutin dibayarkan setiap tanggal 6 dan mekanisme rembes (penggantian biaya) telah digantikan sistem transfer langsung.

Perlindungan sosial: kerjasama dengan BPJS Ketenagakerjaan

Untuk meningkatkan keberpihakan terhadap petugas lokal, BGN telah menjalin kerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan agar petugas SPPG mendapat jaminan sosial ketenagakerjaan.

Poin penting: BGN menegaskan bahwa jaminan sosial ini tidak akan memotong gaji petugas—sebagai bentuk bukti negara hadir dalam melindungi mereka.

Laporan Lapangan & Kritik

Saat suatu program besar diluncurkan, tak jarang tantangan realitas muncul di lapangan. Berikut beberapa laporan dan kritik terkait gaji SPPG dan pelaksanaan MBG.

Klaim keterlambatan pembayaran & viral di media sosial

Publik sempat digegerkan dengan suara petugas MBG yang mengklaim belum menerima gaji selama tiga bulan kerja. Video-video viral mengangkat perlakuan ini sebagai “pembungkaman” atau kelalaian administrasi pemerintah.

Media massa kemudian menindaklanjuti isu tersebut: BGN menyatakan bahwa administrasi tertunda menjadi penyebab utama, dan pihaknya bekerja keras agar pembayaran segera dilakukan.

Laporan di daerah: pemahaman relawan vs status petugas

Di tingkat daerah, ada laporan bahwa petugas dapur MBG di beberapa SPPG dinyatakan sebagai relawan, bukan pekerja formal. Dengan status relawan, pola kerja dan kompensasi berbeda dari pekerjaan formal berstatus pegawai.

Misalnya, di SPPG Banda Sakti, kepala SPPG menyebut bahwa petugas adalah relawan yang dibayar harian atau dua mingguan sesuai juknis program.

Selain itu, ada tuduhan pemotongan honor di beberapa tempat — misalnya laporan bahwa seharusnya honor dibayar senilai Rp 90.000–100.000 per hari, tapi kenyataannya petugas menerima hanya Rp 210.000 untuk 5 hari kerja (berarti sekitar Rp 42.000 per hari).

BACA JUGA :
Staf & Ahli Gizi SPPG Akhirnya Terima Gaji Rp 19,3 Juta – Fakta atau Isu?

Namun laporan-laporan tersebut seringkali tidak didukung data resmi yang dapat diverifikasi publik, sehingga membutuhkan kajian lebih lanjut.

Tantangan geografis, logistik, dan beban kerja

Beberapa tantangan yang muncul di lapangan:

  • Biaya operasional dan logistik: di daerah terpencil, distribusi bahan baku, pengiriman, dan kualitas pangan memerlukan biaya lebih besar.
  • Standar kualitas gizi dan kebersihan: petugas harus mematuhi standar BGN, yang memerlukan pengawasan, uji laboratorium, dan manajemen mutu — beban non-produksi yang sering kali tersembunyi.
  • Variasi jumlah produksi harian: di daerah padat siswa, produksi lebih besar, beban kerja lebih tinggi; di daerah spars, volume lebih kecil tapi tetap ada biaya tetap.
  • Kesulitan administratif dan transparansi: di beberapa daerah, perbedaan interpretasi juknis atau keterlambatan pencairan dana membuat petugas menjalani periode tanpa pendapatan.

Semua faktor ini mempengaruhi seberapa “adil” nominal gaji Rp 2 juta: apakah cukup untuk menutup beban kerja, atau hanya kompensasi minimal.

Analisis: Apakah Rp 2 Juta per Bulan Realistis?

Untuk menjawab apakah nominal Rp 2 juta per bulan itu realistis atau tidak, kita perlu menimbang dari berbagai aspek: beban kerja, perbandingan standar upah lokal, dan ekspektasi kehidupan.

Beban kerja & tanggung jawab

Petugas SPPG tidak hanya memasak. Tugas mereka bisa meliputi:

  1. Perencanaan menu gizi berdasarkan standar BGN, kerja sama dengan ahli gizi.
  2. Pengadaan bahan baku lokal, pengelolaan inventori, uji kualitas.
  3. Pengolahan dalam skala besar — memasak untuk ratusan hingga ribuan porsi.
  4. Distribusi & logistik ke sekolah tujuan.
  5. Pengawasan mutu & pelaporan kebersihan, keamanan pangan, catatan operasional.
  6. Administratif & dokumentasi penggunaan anggaran, penerimaan bahan, laporan harian.

Dengan tanggung jawab begitu kompleks, beban kerja bisa sangat tinggi, terutama di daerah terpencil dengan kondisi infrastrukturnya menantang.

Perbandingan dengan upah minimum regional / pekerjaan sejenis

Di banyak daerah di Indonesia, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) bisa lebih tinggi dari Rp 2 juta per bulan. Tergantung provinsi, upah minimum bisa berkisar antara Rp 2,5–5 juta ke atas. Dengan demikian, jika SPPG berada di daerah berbiaya hidup tinggi, gaji Rp 2 juta bisa terasa sangat rendah.

Apalagi dibanding pekerjaan dapur skala perusahaan, karyawan makanan, katering lokal besar, atau pekerjaan administrasi setara, kompensasi seringkali lebih tinggi.

Aspek daya beli & kesejahteraan

Gaji adalah satu hal; apakah gaji itu dapat memenuhi kebutuhan dasar petugas (makan, transportasi, perawatan kesehatan, pendidikan anak, tabungan) adalah aspek lain. Di kota atau daerah besar dengan biaya hidup tinggi, Rp 2 juta mungkin hanya cukup untuk kebutuhan dasar. Di daerah kecil dari sudut pandang lokal, mungkin lebih bisa diterima sebagai tambahan pendapatan.

Kesimpulannya: Rp 2 juta sebagai gaji dasar atau bench­mark bisa dipahami dalam konteks petugas paling sederhana, tapi untuk posisi bertanggung jawab besar atau daerah dengan biaya tinggi, angka itu sulit dikatakan “cukup” untuk kesejahteraan optimal.

Kisaran Gaji Berdasarkan Posisi & Status

Berdasarkan data dan laporan media, berikut kemungkinan rentang gaji di SPPG:

Posisi / StatusKisaran Gaji / KompensasiCatatan / Sumber
Petugas lokal standar± Rp 2 juta per bulanBanyak laporan umum menyebutnya sebagai angka acuan
Kepala / Ahli Gizi± Rp 19,3 juta untuk 3 bulan (≈ Rp 6,4 juta/bulan)Laporan Bloomberg Technoz menyebutkan total gaji 3 bulan mencapai Rp 19,3 juta untuk Kepala SPPG/ahli gizi
Petugas belum diangkat resmi (relawan)Pembayaran harian / dua mingguanLaporan lokal menyebut pembayaran harian atau split mingguan
Petugas daerah terpencil / beban tinggiBisa lebih tinggi tergantung tunjangan / insentifTidak ada data konkret, tetapi kemungkinan beragam karena kondisi lokal

Catatan: rentang ini bersifat indikatif dan berdasarkan laporan media — belum ada data resmi publik yang menyebutkan “gaji baku nasional SPPG per posisi”.

BACA JUGA :
Gaji SPPG MBG Rp 2 Juta – 6,4 Juta: Fakta vs Isu di Lapangan

Tanggapan Pemerintah & Tindakan Korektif

Pemerintah dan BGN telah menanggapi isu gaji SPPG melalui beberapa langkah nyata:

  1. Pencairan gaji yang tertunda: Kepala BGN menegaskan bahwa semua petugas SPPG telah menerima gaji mereka, termasuk kepala SPPG, ahli gizi, dan anggota staf.
  2. Sistem pembayaran rutin: Gaji petugas sekarang dibayarkan secara rutin (misalnya tanggal 6 setiap bulan) melalui mekanisme transfer digital dan akun virtual.
  3. Perbaikan administrasi & digitalisasi: agar proses pengajuan, monitoring, dan pencairan tidak terganggu lagi.
  4. Perlindungan sosial: kerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan supaya petugas mendapat jaminan ketenagakerjaan.
  5. Penyusunan regulasi & juknis yang lebih jelas: agar tidak ada lagi interpretasi daerah yang menyimpang atau pelaksanaan yang tidak konsisten.

Langkah-langkah tersebut menunjukkan bahwa pemerintah sadar bahwa kesejahteraan petugas adalah kunci agar MBG berjalan lancar dan berkelanjutan.

Kritik & Catatan Penting

Meskipun sudah ada perbaikan, beberapa kritik dan catatan tetap perlu diperhatikan agar implementasi ke depan lebih adil, transparan, dan efektif:

Transparansi data & publikasi resmi

Masih minim data publik yang menyebutkan gaji baku per level di SPPG, terutama di tiap daerah. Jika pemerintah mempublikasikan data resmi, akan meminimalkan spekulasi, isu pemotongan, atau ketidakpercayaan publik.

Konsistensi implementasi di daerah

Karena sebagian operasional di daerah diserahkan ke mitra lokal, variasi interpretasi juknis bisa menyebabkan perbedaan kompensasi, penundaan, atau ketidaksetaraan. Pemerintah pusat perlu pengawasan kuat agar setiap SPPG menerapkan standar yang sama.

Pertimbangan beban kerja & insentif tambahan

Agar gaji tidak terasa “pas-pasan”, perlu diterapkan insentif tambahan: tunjangan lokasi, tunjangan beban kerja ekstra, bonus kinerja, kompensasi untuk perjalanan atau distribusi jauh, dsb.

Evaluasi berkala & umpan balik petugas

Perlu dibentuk mekanisme evaluasi rutin dan kanal umpan balik agar petugas SPPG bisa menyampaikan keluhan, saran, atau laporan pelaksanaan gaji tanpa takut dihukum.

Keberlanjutan anggaran

Agar tidak terjadi penundaan di masa depan, alokasi anggaran harus stabil, dan sistem administrasi anggaran APBN/APBD yang mendukung pelaksanaan MBG perlu diperkuat.

Prospek ke Depan

Dengan perbaikan yang sudah mulai ditunjukkan, berikut beberapa prospek dan rekomendasi agar program MBG dan SPPG dapat optimal:

  1. Standarisasi gaji untuk tiap level: pemerintah bisa menetapkan gaji minimum dan maksimum per posisi (petugas biasa, kepala SPPG, ahli gizi) di seluruh daerah, sesuai indikator beban kerja dan biaya daerah.
  2. Skema insentif fleksibel: tambahan insentif untuk daerah terpencil, tugas distribusi jauh, kualitas prestasi mutu, atau penanganan darurat.
  3. Penguatan sistem digital: penggunaan sistem manajemen operasional SPPG (ERP sederhana) untuk mencatat produksi, biaya, laporan, dan pembayaran petugas secara real time.
  4. Pelatihan & karier: agar petugas SPPG tidak hanya bekerja, tetapi memiliki jalur karier, pelatihan gizi, manajemen pangan, sehingga mereka merasa dihargai dan profesional.
  5. Audit & transparansi publik: agar masyarakat bisa melihat anggaran, alokasi gaji, dan hasil kualitas program MBG.
  6. Kolaborasi lokal: pemberdayaan koperasi lokal atau UMKM di sekitar SPPG sebagai pemasok bahan baku agar ekonomi lokal juga tumbuh.

Penutup & Kesimpulan

Menjawab pertanyaan utama: Benarkah gaji SPPG di program MBG sebesar Rp 2 juta per bulan? Jawabannya: bisa ya bisa tidak — tergantung posisi, wilayah, dan status kerja petugas.

  • Rp 2 juta per bulan sering disebut sebagai angka acuan atau angka minimal untuk petugas standar.
  • Ada posisi yang mendapatkan kompensasi lebih tinggi, seperti kepala SPPG atau ahli gizi (misalnya laporan Rp 19,3 juta untuk 3 bulan).
  • Keterlambatan pembayaran sempat terjadi karena status administratif PPPK belum rampung, hingga sistem pembayaran masih dalam proses adaptasi.
  • Pemerintah sudah melakukan perbaikan: gaji rutin dibayarkan, sistem digitalisasi digunakan, kerja sama jaminan sosial, dan perbaikan regulasi.
  • Untuk ke depan, agar gaji tersebut benar-benar mencerminkan beban kerja dan kesejahteraan, perlu standarisasi, insentif, transparansi, dan evaluasi terus-menerus.