Pendahuluan
Bahan bakar minyak (BBM) merupakan komoditas vital bagi kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Selain sebagai energi utama untuk transportasi, BBM juga menjadi komponen penting dalam industri, pertanian, hingga logistik. Setiap kali harga BBM berubah, dampaknya langsung terasa dalam bentuk naik-turunnya ongkos produksi, distribusi, hingga harga barang kebutuhan pokok.
Namun, tidak semua jenis BBM memiliki pola harga yang sama. BBM subsidi seperti Pertalite dan Biosolar biasanya ditetapkan pemerintah dengan harga tetap. Sebaliknya, BBM non-subsidi—misalnya Pertamax, Pertamax Turbo, Pertamina Dex, Dexlite, hingga Pertamax Green—mengalami perubahan harga lebih sering.
Artikel ini akan mengulas secara mendalam mengapa harga BBM non-subsidi Pertamina kini berubah, dengan membahas faktor penyebab, mekanisme penetapan, dampak bagi masyarakat, serta analisis ke depan.
1. Mekanisme Penetapan Harga BBM Non-Susbidi
Sejak 2015, pemerintah menerapkan kebijakan harga BBM non-subsidi mengikuti harga pasar dengan evaluasi setiap bulan. Penyesuaian harga dilakukan dengan mempertimbangkan:
- Harga minyak mentah dunia – biasanya mengacu pada Brent atau WTI.
- Kurs rupiah terhadap dolar AS – karena impor minyak dan komponen biaya memakai dolar.
- Biaya distribusi dan operasional – termasuk transportasi dari kilang hingga SPBU.
- Kebijakan fiskal – misalnya pajak bahan bakar, margin distribusi, dan lain-lain.
Dengan mekanisme ini, harga BBM non-subsidi bersifat fluktuatif, bisa naik atau turun tiap bulan tergantung kondisi global.
2. Alasan Perubahan Harga BBM Non-Susbidi
2.1 Harga Minyak Dunia yang Berubah-ubah
Harga minyak mentah dunia menjadi faktor utama. Saat harga minyak naik akibat krisis geopolitik atau permintaan meningkat, harga BBM non-subsidi di Indonesia juga naik. Sebaliknya, saat harga turun, harga BBM bisa diturunkan.
Contoh terbaru: pada Agustus 2025, harga minyak dunia turun ke USD 78 per barel, sehingga per 1 September 2025 Pertamina menurunkan harga Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex.
2.2 Kurs Rupiah terhadap Dolar
Indonesia masih mengimpor sebagian kebutuhan BBM dan bahan baku minyak. Bila rupiah melemah, biaya impor naik meski harga minyak dunia turun. Sebaliknya, bila rupiah menguat, harga BBM bisa lebih murah.
2.3 Kebutuhan Menyeimbangkan Pasar
Pertamina menyesuaikan harga BBM non-subsidi agar tidak terlalu jauh berbeda dengan harga pasar internasional. Jika terlalu murah, bisa memicu konsumsi berlebihan dan penyelundupan. Jika terlalu mahal, bisa menekan daya beli masyarakat.
2.4 Kebijakan Pemerintah
Pemerintah tetap punya peran dalam mengatur margin keuntungan Pertamina dan badan usaha lain. Walau non-subsidi, harga tetap dalam pengawasan agar tidak merugikan konsumen.
3. Dampak Perubahan Harga BBM Non-Susbidi
3.1 Dampak bagi Konsumen
- Pengguna Pertamax atau Pertamax Turbo merasakan langsung perbedaan harga.
- Konsumen dengan kendaraan bermesin tinggi cenderung tetap membeli BBM non-subsidi meski harga naik, karena kualitas BBM memengaruhi performa mesin.
3.2 Dampak bagi Dunia Usaha
- Ongkos transportasi dan logistik bisa berubah tergantung harga BBM non-subsidi.
- Industri dengan kendaraan berbahan bakar diesel (Dexlite, Pertamina Dex) sangat terpengaruh.
3.3 Dampak bagi Negara
- BBM non-subsidi tidak membebani APBN secara langsung karena tidak mendapat subsidi.
- Namun, bila harga terlalu tinggi, sebagian masyarakat bisa beralih ke BBM subsidi, sehingga beban subsidi pemerintah justru meningkat.
4. Studi Kasus: Perubahan Harga 1 September 2025
Berdasarkan rilis resmi Pertamina, harga BBM non-subsidi pada 1 September 2025 adalah sebagai berikut:Jenis BBM Harga (Rp/liter) Perubahan Pertamax (RON 92) Rp12.200 Tetap Pertamax Turbo (RON 98) Rp13.100 Turun Rp100 Pertamax Green 95 Rp13.000 Turun Rp100 Dexlite (CN 51) Rp13.600 Turun Rp250 Pertamina Dex (CN 53) Rp13.850 Turun Rp300
(Sumber: Pertamina, CNBC Indonesia, Liputan6, Detik Finance)
5. Perbandingan dengan BBM Subsidi
- Pertalite: Rp10.000/liter (tetap sejak 2022, subsidi pemerintah).
- Biosolar: Rp6.800/liter (tetap).
- Pertamax & lainnya: berubah sesuai harga pasar.
Kesenjangan harga ini sering menimbulkan pergeseran konsumsi. Bila harga Pertamax terlalu tinggi, banyak pengguna beralih ke Pertalite, menambah beban subsidi negara.
6. Perbandingan Internasional
- Malaysia: RON 95 Rp6.500/liter (subsidi penuh).
- Singapura: RON 92 Rp24.000/liter (pajak tinggi).
- Thailand: RON 95 Rp16.000/liter (semi pasar).
- Indonesia: Pertamax Rp12.200/liter (pasar bebas).
Indonesia relatif lebih murah dari Singapura dan Thailand, tapi lebih mahal dari Malaysia.
7. Prediksi ke Depan
Beberapa analis memperkirakan harga BBM non-subsidi masih akan fluktuatif hingga akhir 2025 karena:
- Potensi konflik geopolitik di Timur Tengah.
- Perubahan permintaan global akibat ketidakpastian ekonomi.
- Fluktuasi nilai tukar rupiah.
Namun, jika harga minyak dunia stabil di bawah USD 80 per barel, harga BBM non-subsidi di Indonesia berpotensi tetap atau turun tipis.
8. Kesimpulan
Harga BBM non-subsidi Pertamina kini berubah karena mengikuti mekanisme pasar yang dipengaruhi oleh harga minyak dunia, kurs rupiah, serta kebijakan pemerintah. Perubahan ini membawa dampak langsung bagi konsumen, dunia usaha, dan negara.
Masyarakat perlu memahami bahwa fluktuasi ini adalah konsekuensi dari pasar global. Sementara pemerintah tetap menjaga BBM subsidi agar masyarakat kecil tidak terlalu terdampak.