Penulis : Ermelinda Noh Wea
Dalam lanskap sosial yang terus berubah, dunia pendidikan dihadapkan pada tantangan yang kian kompleks, krisis moral, merosotnya integritas, kecenderungan materialisme, serta menurunnya semangat belajar di kalangan peserta didik. Fenomena ini tidak bisa hanya dijawab dengan kebijakan teknokratis atau reformasi sistem semata. Solusi yang paling mendasar dan sekaligus paling sering diabaikan adalah keteladanan. Di sinilah pentingnya peran pemimpin pendidikan, baik guru, kepala sekolah, maupun dosen, yang tidak hanya memegang peran struktural, tetapi terlebih sebagai pribadi yang memberi arah melalui perilaku dan sikapnya.
Keteladanan adalah fondasi tidak kasat mata dari kepemimpinan yang sejati. Ia tidak sekedar tampil dalam wacana atau dokumen visi-misi, melainkan hadir dalam perilaku keseharian. Dalam dunia pendidikan, keteladanan bukan pelengkap, melainkan inti suatu bentuk kepemimpinan moral yang menyentuh jiwa peserta didik dan menanamkan nilai yang jauh lebih dalam dari teori di buku ajar.
Banyak teori kepemimpinan yang berbicara tentang strategi, struktur, dan manajemen. Namun dalam pendidikan, kepemimpinan yang paling berpengaruh bukanlah yang paling keras bersuara, tetapi yang paling konsisten menjalankan nilai. Seorang kepala sekolah yang tidak mau mengambil jalan pintas, seorang guru yang menolak memberi nilai “aman” demi menjaga integritas, atau seorang dosen yang tetap mengutamakan etika akademik di tengah tekanan capaian publikasi mereka adalah cermin dari kepemimpinan yang bermutu.
Keteladanan menjadi jembatan antara nilai yang diajarkan dan nilai yang dihayati. Pendidikan akan kehilangan daya transformasinya bila tidak disertai figur-figur yang hidup dalam nilai-nilai itu. Sebaliknya, nilai yang sederhana kejujuran, tanggung jawab, ketekunan akan menjadi terang benderang ketika dipraktikkan oleh sosok yang dihormati peserta didik. Dalam hal ini, keteladanan adalah pendidikan yang paling diam, tetapi paling dalam pengaruhnya.
Tiga Pilar Mengapa Keteladanan Merupakan Esensi Kepemimpinan
- Karakter Terbentuk Melalui Pengalaman yang Dihidupkan, Bukan Sekedar Diajarkan
Karakter bukanlah produk dari hafalan. Ia terbentuk melalui proses panjang melihat, mengalami, dan meniru. Di sinilah peran teladan menjadi kunci. Peserta didik menyerap nilai lebih banyak dari contoh nyata dibandingkan teori. Mereka tidak hanya mendengar pelajaran, tapi mengamati bagaimana seorang guru bersikap saat marah, bagaimana seorang pemimpin bertindak dalam tekanan, bagaimana etika ditegakkan meski tidak dilihat orang. Semua ini akan tertanam jauh lebih kuat daripada kata-kata.
- Membangun Budaya Sekolah atau Kampus yang Etis dan Berkeadaban
Keteladanan memiliki efek sistemik. Ketika pemimpin pendidikan hidup dalam kejujuran, kesederhanaan, dan keterbukaan, maka budaya serupa akan menjalar ke seluruh struktur lembaga. Sering kali, masalah-masalah dalam lembaga pendidikan, korupsi, manipulasi nilai, atau praktik diskriminatif berakar bukan pada sistem yang salah, tetapi pada kepemimpinan yang gagal menjadi contoh.
Sebaliknya, satu sosok pemimpin yang menjadi teladan bisa memicu perubahan budaya secara menyeluruh. Budaya tidak bisa diperintahkan, budaya dibentuk melalui keteladanan yang konsisten.
- Membangun Relasi Edukatif yang Autentik dan Bermakna
Peserta didik tidak membutuhkan guru yang sempurna, melainkan guru yang otentik yang bisa mereka percaya, hormati, dan teladani. Relasi antara pendidik dan peserta didik akan menjadi lebih manusiawi dan bermakna jika dilandasi oleh rasa hormat yang tumbuh dari keteladanan. Kepercayaan ini tidak bisa dibeli atau dipaksakan. Ia muncul dari konsistensi moral, kesabaran, dan kerendahan hati yang ditunjukkan oleh pemimpin pendidikan sehari-hari.
Keteladanan di tengah jeterbatasan dan tekanan zaman,
tentu bukan hal mudah untuk menjadi teladan di tengah sistem pendidikan yang sering kali lebih menuntut hasil ketimbang proses, angka ketimbang nilai. Banyak guru yang dibebani target administratif, kepala sekolah yang harus menghadapi tekanan politik lokal, dosen yang didorong mengejar skor publikasi internasional. Namun dalam tekanan itulah, nilai keteladanan diuji.
Menjadi teladan bukan berarti menjadi sempurna, tetapi bersedia terus belajar, mengakui kesalahan, dan memperbaiki diri. Bahkan, mengakui kesalahan kepada muridpun merupakan bentuk keteladanan yang berharga karena ia mengajarkan kerendahan hati dan keberanian moral.
Keteladanan juga bukan soal besar atau kecilnya tindakan. Seorang guru yang menyapa murid dengan ramah setiap pagi, seorang dosen yang tetap mengajar dengan semangat walau ruang kelas sepi, atau kepala sekolah yang turun langsung saat ada masalah semua itu adalah bentuk kepemimpinan yang nyata dan menyentuh.
Pendidikan yang menyentuh hati, bukan sekedar meningkatkan nilai.
Pendidikan bukan sekedar transfer ilmu. Ia adalah proses membentuk manusia membangun nalar, hati nurani, dan tanggung jawab sosial. Dan untuk membentuk manusia, dibutuhkan manusia-manusia lain yang mampu menjadi sumber inspirasi moral Keteladanan bukan sesuatu yang mewah, tetapi kebutuhan dasar dalam dunia pendidikan yang ingin bermakna dan berkelanjutan.
Jika kita menginginkan generasi masa depan yang berintegritas, empatik, dan visioner, maka sudah saatnya kita berhenti menjadikan keteladanan sebagai slogan, dan mulai menjadikannya sebagai komitmen hidup. Kita boleh memiliki sistem pendidikan yang modern, fasilitas yang lengkap, dan teknologi yang canggih tetapi semua itu tidak akan cukup jika tidak ada pemimpin yang bisa diteladani.
Karena sesungguhnya, yang paling membekas dalam ingatan peserta didik bukanlah rumus, definisi, atau target capaian. Yang mereka kenang sepanjang hidup adalah siapa guru mereka dan bagaimana ia menjalani hidupnya.**